Essi 208 -- Perjalanan Kematian
Tri Budhi Sastrio
Seorang teman dosen pengajar bahasa, sastra
   dan budaya Tunisia,
Mengingatkan saya pada tragedi yang sedang
   berkecamuk di sana.
Wanita Tunisia yang satu ini pernah berkata --
   agak sedikit retorika,
Tetapi saya menangkap ini wanita paruh baya,
   status sudah janda,
Karena memang sudan agak lama berpisah dengan
   suami tercinta
Yang berasal serta bermukim di negeri Jerman sana,
   tak bercanda
Ketika berkata dia tidak akan kembali ke Tunisia
   tanah kelahirannya.
Saya akan menetap di Poznan, Polandia, sampai
   akhir menutup mata,
Begitu kurang lebih kata-katanya sambil bercerita
   tentang kebunnya,
Yang memang dibeli supaya ada kesibukan
   menanam bunga-bunga.
Janda yang kembali nona ini mungkin ada benarnya,
   jika kabar duka
Yang terus saja menyebar dari negaranya memang
   begitulah adanya.
Menetap di negara yang walau pernah dua kali
   hilang dari peta dunia,
Tetapi tetap saja jauh ledih teratur, bebas dan ...
   tentu saja sejahtera
Dibandingkan negara asalnya yang bukan saja
   kurang hargai wanita,
Tetapi perilaku korup pejabatnya -- agak mirip ya
   dengan Indonesia --
Benar keterlaluan serta melampaui semua batas
   imajinasi manusia.
Salah urus dan korupsi berjamaah yang rajin
   dilakukan para penguasa
Perlahan tapi pasti akhirnya menjadi bendera
   petaka di angkasa Tunisia.
Orang miskin terus bertambah, pekerjaan pun
   menguap entah ke mana.
Puncak mala petaka akhirnya tersisa dan menjelma
   jadi dua pilihan saja.
Mati kelaparan di tanah tercinta, atau menyongsong
   harapan di Eropa,
Walau taruhannya ternyata juga dahsyat luar biasa,
   hilang ditelan naga,
Naga gelombang samudera raya sebelum sampai
   ke pulau Lampedosa,
Yang memang gerbang surga terdekat di lepas
   pantai negeri pemilik lira.
Atau yang selamat dari naga samudera, sudah
   menunggu serdadu Roma,
Yang kebuasannya mungkin tidak jauh berbeda
   dengan penyalib nabi Isa.
Singkat kata sebagian besar mereka -- kalau tidak
   boleh dikatakan semua,
Jangankan masuk ke sorga, sampai ke gerbangnya
   saja jelas tidak bisa.
Apakah memang seperti begini nasib dan takdir
   keluarga miskin di dunia?
Ferjani bin Halima dan istrinya menjadi contoh
   nyata bagaimana orang tua
Ternyata memang tidak bisa melakukan apa-apa ...
   makanan tidak ada,
Pekerjaan sudah lama sirna, tanah juga tidak punya,
   hanya anak tersisa,
Dan ketika anak ini juga tak ada kabar beritanya
   tatkala naga Lampedosa
Mungkin menelannya, hanya derai air mata serta
   sedikit harapan tersisa
Yang bisa ditunjukkan pada dunia ... memang
   pemerintah korup yang lama    Â
Telah tumbang seiring merebaknya percikan api
   demokrasi di mana-mana,
Tetapi pemerintah yang baru pun pada kenyataannya
   tidak bisa apa-apa.
Teriakan revolusi, perubahan dan reformasi
   memang lantang bergema,
Rakyat pun pernah dengan sukacita dan gegap
   gempita menyambutnya,
Tetapi ketika perut tidak kenyang dibuatnya,
   sementara peluru terus saja
Menyambar tak henti-hentinya di atas kepala,
   lalu harapan yang tersisa?
Bukankah tak seharusnya negara hanya beri dua
   pilihan pada pemudanya,
Jika tidak ingin kelaparan dan menderita, ya silahkan
   pergi ke Eropa sana?
Apalagi keduanya bukan pilihan pantas yang layak
   disediakan oleh negara.
Yang pertama ujungnya bencana dan kematian
   harkat dan martabat manusia,
Sedangkan yang kedua ya sama saja, naga Lampedosa
   dan serdadu Roma,
Pasti tidak akan segan-segan menghantar ini
   anak muda ke gerbang neraka.
Perjalanan maut berbalut kematian, jalannya mulus,
   lebar, dan selalu terbuka.
Lambaian tangannya yang menggoda terus saja
   mengajak anak-anak muda
Untuk masuk ke sana, merasakan nikmatnya
   marga penuh aroma mantra,
Tetapi ujungnya ternyata hanya fatamorgana
   ciptaan para pengelola negara
Yang terus sibuk memperkaya kocek dan
   brankasnya dengan uang negara,
Sehingga lupa betapa banyak anak manusia
   yang lugu polos tidak berdosa
Harus menghantar nyawa sia-sia dan bukannya
   membangun tanah airnya.
Indonesia memang belum sampai ke sana --
   dan tak ke sana semoga saja,
Tetapi jika perilaku dusta dan korup para politisi
   serta pejabat negaranya,
Terus dibiarkan seperti yang sedang asyik merajalela
   di ini negara tercinta,
Adalah sangat mungkin dan bisa saja tragedi
   di banyak negara di Afrika sana
Pantulan bayangannya menjadi realita nyata
   di negara yang kepala negaranya   Â
Pernah dijuluki dan diberi label 'sang pendusta'
   oleh para tokoh pemuka agama.
Sekarang telah tiba masanya, dan tentu saja
   belumlah sangat terlambat kiranya,
Jika nakhoda utama negara berani memberi
   perintah guna putar halauan bahtera.
Cikar kanan boleh diteriakkan oleh sang nahkoda
   karena karang di depan sana.
Bahtera ini banyak muatan berharganya jadi
   tak layak dikorbankan begitu saja,
Apalagi jika penyebabnya hanya seorang saja,
   nakoda yang tak tegas namanya.
Ayo cikar kanan saja, jangan hantam karang
   di depan sana, selamatkan bahtera.
Hapus korupsi, hentikan perompakan negara,
   layarkan semua warga ini negara
Ke pantai harapan yang aman sentosa makmur
   dan sejahtera seperti amanatnya
Dalam konstitusi negara ... yang menjadi salah satu
   pilar utama negara tercinta.
Yang bersama pilar-pilar lainnya - NKRI, Pancasila
   dan Bhinneka Tunggal Ika --
Pastilah mampu membawa ini bahtera negara
   ke pantai tujuannya yang mulia.
Perjalanan maut dan kematian memang terus
   bergelombang terjadi di Tunisia.
Pilu, sedih dan prihatin memenuhi sanubari
   yang sempat mendengar ceritanya,
Belum lagi kesedihan yang langsung diderita
   dan dirasa para bapa dan bunda,
Yang terpaksa merelakan anak-anaknya pergi
   menapak pilihan penuh petaka.
Kabar tak ada, berita entah ke mana, sementara
   negara berpeluk tangan saja.
Memang menjengkelkan ini semua, tetapi inilah
   faktanya dan itulah realitanya.
Lalu apa yang bisa dikerja kita karena ini negara
   memang ada nun jauh di sana,
Sementara di depan hidung dan mata, sejuta
   problema juga menari berdansa?
Memang tidak baniak kecuali terus berharap dan
   berdoa semoga yang di sana,
Terutama mereka yang sedang berkuasa dan
   cukup mempunyai daya dan dana,
Segera sadar bahwa tidak selayaknya jika negara
   hanya memberi pilihan petaka.
Essi nomor 208 -- POZ10102012 -- 087853451949