Tri Budhi Sastrio
Seorang teman dosen pengajar bahasa, sastra
dan budaya Tunisia,
Mengingatkan saya pada tragedi yang sedang
berkecamuk di sana.
Wanita Tunisia yang satu ini pernah berkata --
agak sedikit retorika,
Tetapi saya menangkap ini wanita paruh baya,
status sudah janda,
Karena memang sudan agak lama berpisah dengan
suami tercinta
Yang berasal serta bermukim di negeri Jerman sana,
tak bercanda
Ketika berkata dia tidak akan kembali ke Tunisia
tanah kelahirannya.
Saya akan menetap di Poznan, Polandia, sampai
akhir menutup mata,
Begitu kurang lebih kata-katanya sambil bercerita
tentang kebunnya,
Yang memang dibeli supaya ada kesibukan
menanam bunga-bunga.
Janda yang kembali nona ini mungkin ada benarnya,
jika kabar duka
Yang terus saja menyebar dari negaranya memang
begitulah adanya.
Menetap di negara yang walau pernah dua kali
hilang dari peta dunia,
Tetapi tetap saja jauh ledih teratur, bebas dan ...
tentu saja sejahtera
Dibandingkan negara asalnya yang bukan saja
kurang hargai wanita,
Tetapi perilaku korup pejabatnya -- agak mirip ya
dengan Indonesia --
Benar keterlaluan serta melampaui semua batas
imajinasi manusia.
Salah urus dan korupsi berjamaah yang rajin
dilakukan para penguasa
Perlahan tapi pasti akhirnya menjadi bendera
petaka di angkasa Tunisia.
Orang miskin terus bertambah, pekerjaan pun
menguap entah ke mana.
Puncak mala petaka akhirnya tersisa dan menjelma
jadi dua pilihan saja.
Mati kelaparan di tanah tercinta, atau menyongsong
harapan di Eropa,
Walau taruhannya ternyata juga dahsyat luar biasa,
hilang ditelan naga,
Naga gelombang samudera raya sebelum sampai
ke pulau Lampedosa,
Yang memang gerbang surga terdekat di lepas
pantai negeri pemilik lira.
Atau yang selamat dari naga samudera, sudah
menunggu serdadu Roma,
Yang kebuasannya mungkin tidak jauh berbeda
dengan penyalib nabi Isa.
Singkat kata sebagian besar mereka -- kalau tidak
boleh dikatakan semua,
Jangankan masuk ke sorga, sampai ke gerbangnya
saja jelas tidak bisa.
Apakah memang seperti begini nasib dan takdir
keluarga miskin di dunia?
Ferjani bin Halima dan istrinya menjadi contoh
nyata bagaimana orang tua
Ternyata memang tidak bisa melakukan apa-apa ...
makanan tidak ada,
Pekerjaan sudah lama sirna, tanah juga tidak punya,
hanya anak tersisa,
Dan ketika anak ini juga tak ada kabar beritanya
tatkala naga Lampedosa
Mungkin menelannya, hanya derai air mata serta
sedikit harapan tersisa
Yang bisa ditunjukkan pada dunia ... memang
pemerintah korup yang lama
Telah tumbang seiring merebaknya percikan api
demokrasi di mana-mana,
Tetapi pemerintah yang baru pun pada kenyataannya
tidak bisa apa-apa.
Teriakan revolusi, perubahan dan reformasi
memang lantang bergema,
Rakyat pun pernah dengan sukacita dan gegap
gempita menyambutnya,
Tetapi ketika perut tidak kenyang dibuatnya,
sementara peluru terus saja
Menyambar tak henti-hentinya di atas kepala,
lalu harapan yang tersisa?
Bukankah tak seharusnya negara hanya beri dua
pilihan pada pemudanya,
Jika tidak ingin kelaparan dan menderita, ya silahkan
pergi ke Eropa sana?
Apalagi keduanya bukan pilihan pantas yang layak
disediakan oleh negara.
Yang pertama ujungnya bencana dan kematian
harkat dan martabat manusia,
Sedangkan yang kedua ya sama saja, naga Lampedosa
dan serdadu Roma,
Pasti tidak akan segan-segan menghantar ini
anak muda ke gerbang neraka.
Perjalanan maut berbalut kematian, jalannya mulus,
lebar, dan selalu terbuka.
Lambaian tangannya yang menggoda terus saja
mengajak anak-anak muda
Untuk masuk ke sana, merasakan nikmatnya
marga penuh aroma mantra,
Tetapi ujungnya ternyata hanya fatamorgana
ciptaan para pengelola negara
Yang terus sibuk memperkaya kocek dan
brankasnya dengan uang negara,
Sehingga lupa betapa banyak anak manusia
yang lugu polos tidak berdosa
Harus menghantar nyawa sia-sia dan bukannya
membangun tanah airnya.
Indonesia memang belum sampai ke sana --
dan tak ke sana semoga saja,
Tetapi jika perilaku dusta dan korup para politisi
serta pejabat negaranya,
Terus dibiarkan seperti yang sedang asyik merajalela
di ini negara tercinta,
Adalah sangat mungkin dan bisa saja tragedi
di banyak negara di Afrika sana
Pantulan bayangannya menjadi realita nyata
di negara yang kepala negaranya
Pernah dijuluki dan diberi label 'sang pendusta'
oleh para tokoh pemuka agama.
Sekarang telah tiba masanya, dan tentu saja
belumlah sangat terlambat kiranya,
Jika nakhoda utama negara berani memberi
perintah guna putar halauan bahtera.
Cikar kanan boleh diteriakkan oleh sang nahkoda
karena karang di depan sana.
Bahtera ini banyak muatan berharganya jadi
tak layak dikorbankan begitu saja,
Apalagi jika penyebabnya hanya seorang saja,
nakoda yang tak tegas namanya.
Ayo cikar kanan saja, jangan hantam karang
di depan sana, selamatkan bahtera.
Hapus korupsi, hentikan perompakan negara,
layarkan semua warga ini negara
Ke pantai harapan yang aman sentosa makmur
dan sejahtera seperti amanatnya
Dalam konstitusi negara ... yang menjadi salah satu
pilar utama negara tercinta.
Yang bersama pilar-pilar lainnya - NKRI, Pancasila
dan Bhinneka Tunggal Ika --
Pastilah mampu membawa ini bahtera negara
ke pantai tujuannya yang mulia.
Perjalanan maut dan kematian memang terus
bergelombang terjadi di Tunisia.
Pilu, sedih dan prihatin memenuhi sanubari
yang sempat mendengar ceritanya,
Belum lagi kesedihan yang langsung diderita
dan dirasa para bapa dan bunda,
Yang terpaksa merelakan anak-anaknya pergi
menapak pilihan penuh petaka.
Kabar tak ada, berita entah ke mana, sementara
negara berpeluk tangan saja.
Memang menjengkelkan ini semua, tetapi inilah
faktanya dan itulah realitanya.
Lalu apa yang bisa dikerja kita karena ini negara
memang ada nun jauh di sana,
Sementara di depan hidung dan mata, sejuta
problema juga menari berdansa?
Memang tidak baniak kecuali terus berharap dan
berdoa semoga yang di sana,
Terutama mereka yang sedang berkuasa dan
cukup mempunyai daya dan dana,
Segera sadar bahwa tidak selayaknya jika negara
hanya memberi pilihan petaka.
Essi nomor 208 -- POZ10102012 -- 087853451949