"Baiklah, nona. Ayo kawan, ikut di belakangku." Kapten Hermawan masih bisa bercanda.
Di pintu penghubung antara kokpit dan kabin utama ada seorang pembajak berjaga-jaga dengan senapan otomatis di tangan tetapi pandangan orang yang satu ini tetap tertuju pada para penumpang. Kapten Pilot yang lewat di sampingnya sama sekali tidak digubris. Hmm, komplotan ini terlalu yakin pada pemimpinnya, pikir Kapten Hermawan. Apa yang dipikir oleh Kapten Hermawan tidak salah. Koordinasi di antara mereka kelihatan begitu rapi. Personil terlatih ditambah dengan dana tak terbatas memungkinkan mereka melakukan apa saja, termasuk membajak pesawat penumpang berbadan lebar ini.
Deret kedua tempat duduk sebelah kanan. Hmm, pemuda tampan yang masih muda ini yang ditakuti oleh si nona tadi? Mustahil orang ini seorang agen rahasia, dia lebih pantas menjadi anak seorang hartawan tetapi Kapten Hermawan melangkah juga ke depan orang itu.
"Maaf, maukah anda melepaskan sabuk pengaman dan ikut saya ke kokpit? Ada sesuatu yang ingin saya rundingkan dengan anda."
Tanpa menunggu jawaban dari anak muda yang ternyata Letnan Komang Aji, Kapten Pilot Hermawan berbalik menghadap ke  arah penumpang yang lain. Kemudian ia berkata: "Para penumpang yang terhormat, kami mohon agar tetap tenang. Saya pribadi memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian ini. Saya berjanji bahwa semuanya akan segera berakhir dengan baik. Maka dari itu saya mohon anda bersedia mentaati semua perintah. Jangan berbuat  sesuatu yang hanya akan menimbulkan bencana bagi kita semua. Sekian saja pengumuman dari saya, dan sekali lagi mohon maaf karena saya harus segera kembali ke kokpit. Ada sesuatu yang masih harus saya selesaikan."
Kemudian, tanpa menoleh lagi ia melangkah ke kokpit. Letnan Komang Aji mengikuti dari belakang, dikawal oleh Nomor 4.
Sambil berjalan Letnan Aji menggerutu dalam hati. Apakah penampilannya terlalu menyerupai seorang agen polisi sehingga pembajak dengan mudah mengenalinya? Hal lain yang juga menjengkelkan adalah tidak adanya kesempatan berkomunikasi. Pembajak yang berjaga-jaga di kabin utama benar-benar sangat profesional. Setitik pun dia tidak berkutik dan tidak diberi kesempatan.
"Selamat datang di kokpit, tuan detektif," suara nona cantic itu menyambutnya. Kapten Hermawan hanya bisa tersenyum melihat tingkah pemimpin pembajak.
"Oh ya," kata gadis itu lebih lanjut, "bisakah anda menerangkan siapa anda ini sebenarnya? Dan siapa yang  dihubungi dengan pesawat khusus di saku anda itu?"
Letnan Aji terdiam. Hatinya terkesiap. Betapa cermatnya nona ini. Gerakan yang sudah lama dilatihnya ternyata masih tidak dapat mengelabui pandangan si nona. Letnan Aji membalas tatapan gadis itu. Hmm, matanya indah sekali, desis Letnan muda itu dalam hati.
"Saudara," suara gadis itu sekarang keras, sebutan yang dipakainya juga berubah, "saya ulangi pertanyaan saya. Siapakah saudara sebenarnya? Maaf, ini kesempatan  yang terakhir untuk menjawab pertanyaan saya. Jika tidak, maaf Kapten, saya terpaksa meminta ijin untuk melakukan sesuatu di kokpit ini."