Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Relung-Relung Penyesalan

14 Maret 2021   10:58 Diperbarui: 14 Maret 2021   11:48 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
onelittleproject.com

"Bagitu juga dengan engkau anakku," katanya melanjutkan. "Alasan-alasanmu mungkin engkau pikir benar anakku," katanya melanjutkan, "tetapi benarkah alasan itu bagi orang lain? Bagi ayah dan ibumu? Bagi orang-orang yang mendambakan keberhasilan dirimu? Engkau ...!"

"Bu ...!" potong Negara lirih, tidak ingin mengejutkan ibunya karena kata-katanya terpotong. Mata Negara yang bening menatap mata ibunya. Wanita itu mengangguk. Diam-diam perasaan sayang pada anaknya semakin kental meskipun wanita itu selalu mencoba untuk tidak menunjukkan secara berterang. Hati ibu mana yang tidak akan terkesima kalau anak satu-satunya tidak cuma bisa tersenyum dengan bibirnya tetapi juga dengan matanya? Negara bisa tersenyum dengan matanya.

"Berbicara tentang alasan," kata Negara sambil terus tersenyum, "mungkin aku salah menafsirkan alasan yang ada dalam kepala ini dengan kata-kata yang benar, tetapi yang jelas, aku minta ijin pada ayah dan ibu untuk berhenti kuliah, semata-mata karena hatiku mengatakan demikian. Manusia harus menurut pada kata hatinya, bukan? Manusia harus akrab dengan bisikan nuraninya. Ibu pasti tahu hal ini. Begitu juga ayah."

Laki-laki bertubuh kekar yang dipanggil ayah oleh Negara, mendengus pelan. Sedangkan istrinya tersenyum lembut setelah lebih dahulu mengangguk lemah.

"Manusia memang harus akrab dengan kata hatinya dan bisikan nuraninya,"wanita setengah baya itu mendahului berkata pada Negara, "tetapi ini tidak berarti segala macam pikiran logis diabaikan begitu saja. Kalau seseorang berhasil menggabungkan logika dan bisikan nurani menjadi sesuatu yang selaras dan harmoni, dia pasti tidak akan melangkah di jalan yang salah. Meskipun pada akhirnya, setiap orang harus bertanggung jawab pada dirinya sendiri tetapi sebagai seorang ibu, juga ayahmu sebagai seorang ayah, tetap akan mencoba mencampuri urusanmu, anakku. Pertimbangkan sekali lagi kehendakmu itu. Tiga tahun bukan waktu yang terlalu lama untuk menunggu, apalagi untuk urusan sebesar ini. Juga bukankah engkau bisa mengerjakan bisikan nuranimu sambil meneruskan kuliah. Menunda sesuatu yang telah dimulai adalah tindakan sia-sia dan bodoh!"

Negara menggigit bibirnya. Ayahnya tampak tidak sabar lagi. Ini terlihat ketika laki-laki itu berkata dengan suara dalam.

"Yang jelas engkau harus menyelesaikan kuliah sebagai tanggung jawabmu terhadap aku. Setelah kuliahmu selesai kau boleh berbuat apa saja tetapi sebelum kuliahmu selesai kau harus tunduk pada peraturan rumah ini. Ingat Negara, dua tahun yang lalu kau telah mengecewakan hatiku tetapi aku masih bisa memaafkan dirimu, karena kupikir-pikir, di jurusan apa saja engkau belajar, nilai akhir dan maknanya akan sama saja tetapi kalau kali ini tetap nekad dengan tekadmu   yang  tidak beralasan itu, sampai kapan pun aku tidak akan pernah memaafkanmu!"

Istrinya memegang lengan suaminya. Pandangan matanya yang mengandung makna tersendiri seakan hendak mengingatkan suaminya untuk tidak berkata seperti itu pada Negara.

Negara sendiri makin keras menggigit bibirnya. Dia bukan pemberani tetapi juga bukan orang yang suka diancam meskipun yang mengancam kali ini adalah ayahnya sendiri.

"Ayah," kata Negara sambil agak mencondongkan tubuh ke depan. "Apa sih pentingnya sebuah gelar? Cuma untuk kebanggaan? Atau mungkin prestise? Tanpa melalui sekolah pun seseorang bisa memperoleh gelar semacam itu. Menurut pandanganku gelar adalah sebuah penghargaan dan sebuah penghargaan tidak pantas untuk dikejar, direbut, apalagi diusahakan dengan segala macam pengorbanan untuk mendapatkannya."

"Ayah kan pernah mendengar ketika salah seorang pejabat tinggi pemerintah mengatakan pada para pegawai negeri seluruh negara ini tentang masalah kenaikan pangkat. Kenaikan pangkat menurutnya adalah penghargaan pemerintah terhadap seluruh aparat dan karena kenaikan pangkat adalah penghargaan jadi salah kalau sebuah kenaikan pangkat diurus. Penghargaan tidak pantas dan tidak patut diurus. Begitu juga dengan gelar, ayah! Gelar adalah penghargaan dan sebuah penghargaan tidak pantas dikejar-kejar."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun