Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Kabut Puncak Bromo

26 Februari 2021   17:44 Diperbarui: 27 Februari 2021   07:35 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Bromo (Sumber: ooaworld.com)

Tiba-tiba saja, sebentuk kesadaran melintas di benakku. Ah, betapa tololnya aku selama ini. Memilih terkungkung di tempat yang tidak menyenangkan sementara kedamaian justru ada di luar sini.

Sambil terus melangkah perlahan, karena aku memang memilih berjalan kaki daripada naik kuda, pikiranku terus bermain. Tak henti-hentinya aku menyesali ketololan diriku sendiri, yang selama ini ternyata buta terhadap kenyataan. "Alam yang indah dan damai menunggu untuk dinikmati, aku malahan memilih kehidupan yang penuh dengan udara kotor," begitu berkali-kali aku menggumam menyesali diriku sendiri.

Hanya saja rasa sesal ini tidak sempat berlama-lama memenuhi otak, karena kedamaian dan keindahan alam segera mengusirnya jauh-jauh. Aku merasa menjadi orang baru. Tanpa kusadari, seulas senyum tiba-tiba saja mengembang di bibirku.

Aku sendiri sebenarnya tidak menyadari berjalan sambil tersenyum. Aku baru menyadari hal itu ketika suara centil beberapa orang gadis, yang rupanya tanpa kusadari mendahuluiku, berbicara pelan tetapi cukup jelas untuk kudengar.

"Jalan sendirian sambil tersenyum-senyum ... aneh ya ..." Kemudian disusul oleh cekikikan beberapa temannya.

Seketika aku gelagapan. Senyum segera kusimpan. Tidak enak memang kalau sedang asyik bermain-main dengan pikiran, tiba-tiba saja dikritik orang, apalagi oleh serombongan gadis. Sebenarnya ada yang lebih dari itu. Gadis yang berbicara tadi itu, suaranya seperti tidak asing bagiku. Kulihat rombongan gadis itu sudah agak jauh di depan, karena mereka melangkah cepat.

"Hai," panggilku sambil mempercepat langkah.

Beberapa dari mereka menoleh. Melihat langkahku di percepat mereka ikut mempercepat langkah tetapi aku tidak mau kalah. Sekarang aku berlari. Sekejab saja kudahului, berbalik dan berhenti tepat di depan mereka. Rombongan itu ikut berhenti. Tidak ada pria di antara mereka.

Bukan main gadis-gadis masa sekarang ini. Mendaki gunung tanpa ditemani seorang pria pun.

"Siapa tadi yang berbicara ketika melewati aku?" tanyaku dengan suara sedikit mengancam.

Aku mencoba berbicara dengan muka sedikit ditekuk, sekalipun tidak yakin apakah penampilan dengan sikap seperti itu akan lebih berwibawa atau malahan tampak semakin konyol.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun