Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Kabut Puncak Bromo

26 Februari 2021   17:44 Diperbarui: 27 Februari 2021   07:35 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Bromo (Sumber: ooaworld.com)

Kabut Puncak Bromo
Tri Budhi Sastrio

Bagi pengagum kecantikan wanita,
Banyak hal yang tidak masuk akal bisa dilakukan!
Mulai dari raja dan para pengeran,
Sampai pada para gembel dan preman,
Tak ada orang yang tak tergetar oleh kecantikan! 

Sungguh tidak tahu diuntung sebenarnya, kalau orang menyia-nyiakan masa muda dan masa remaja. Masa yang cuma sekali dalam hidup, bukan pada tempatnya disia-siakan dan tidak dinikmati. Contohnya seperti aku ini. Aku benar-benar menyesal. Masa mudaku kulewati tidak dengan keceriaan bersama-sama dengan teman tetapi kuhabiskan dengan ruangan sumpek dan gelap, tumpukan buku, persoalan yang seakan-akan tidak ada habis-habisnya dan banyak macam persoalan lain yang sepantasnya cuma dihadapi oleh orang-orang tua.

Mungkin sebagai imbangannya, ketika umurku tidak remaja lagi, keinginan untuk bertindak seperti remaja mulai meledak-ledak di dada. Aku ingin bebas seperti layaknya remaja. Bebas pergi ke mana saja, bebas bergaul dengan siapa saja, bebas bercinta dengan siapa saja, atau dengan kata lain bebas berbuat apa saja.

Begitulah, persis sehabis menerima gajian, aku menghadap pimpinan perusahaan tempat aku bekerja.

"Pak!" kataku sambil tetap memegang amplop berisi uang gajian. "Minggu ini saya akan mengambil cuti tahunan!"

Pimpinan perusahaan mengerutkan kening. Dia heran karena bukan kebiasaanku untuk mengambil cuti segala. Ini benar. Tiga tahun sudah aku mengabdikan diri pada perusahaan ini dan tak sekali pun pernah mengambil cuti. Semua hak cuti dibiarkan kedaluwarsa, bahkan uang pengganti cuti pun tidak pernah diurus.

"Akan diambil sekaligus, pak!" kataku melanjutkan.

"Engkau mau ke mana?" tanya pimpinan perusahaan. "Minggu depan banyak tugas yang perlu bantuanmu untuk menyelesaikannya. Jadi...."

"Maaf, pak!" potongku cepat. "Rencana ini telah direncanakan sejak sebulan yang lalu, jadi saya tidak bisa menundanya apalagi membatalkannya. Cuti tahunan kan dua belas hari ya, pak?"

Aku mencoba mengalihkan pokok pembicaraan.

Kulihat muka pimpinan perusahaan berubah kurang senang. Aku tahu, tipe orang yang satu ini paling tidak suka kalau keinginannya dibantah tetapi aku tidak peduli. Bahkan kalau seandainya dia bersikeras, aku pun akan lebih bersikeras. Kalau perlu, resiko dipecat pun aku sudah siap.

"Ya, ya, cuti tahunan memang dua belas hari!" katanya tetap dengan menunjukkan rasa tidak senangnya. "Tetapi tidakkah mau mempertimbangkan kepentingan perusahaan kemudian baru ..."

Aku memotong kata-katanya tetapi kali ini dengan gelengan kepala.

"Baiklah," kata pimpinan perusahaanku akhirnya, sedangkan mukanya berubah memerah. "Kalau memang kepentingan perusahaan sama sekali tidak bisa mengubah rencanamu, aku tidak bisa apa-apa tetapi ingat, kesan baik karena prestasi kerja, mungkin akan berkurang."

Aku membalas pernyataan berisi ancaman itu dengan senyuman, karena aku ingin menunjukkan jangankan cuma ancaman semacam itu, bahkan ancaman pemecatan sekali pun tidak akan menggoyahkanku.

"Tidak apa, pak!" kataku sambil bangkit dari duduk. "Sekarang saya permisi dulu, pak!"

Pimpinan perusahaanku tidak menjawab tetapi apa peduliku. Yang penting, ini adalah hakku.

***

Udara di kawasan gunung Bromo memang bersih dan segar. Bahkan sejak turun dari angkutan umum yang mengantarkanku ke desa di kaki gunung Bromo, hal itu sudah terasa. Suasana alam yang nyaman menyadarkanku akan sesuatu. Baru sekarang terasa betapa besar bedanya suasana alam yang segar ini dengan suasana kota yang pengab dan gerah. Apalagi jika dibandingkansuasana di kantor tempatku bekerja. Hoo, seperti surga dengan neraka layaknya. Begitu berbeda, begitu bertolak belakang.

Di sini, di alam yang tenang ini, di antara kabut-kabut, di antara kersik pohon yang hijau, di antara kicau burung yang merdu, di antara sapuan lembut sang bayu, yang terasa cumalah kedamaian dan kedamaian. Damai suasananya, damai lingkungannya, dan damai di hatiku.

Sedangkan di kota, apalagi di kantorku, bukan main. Panas, tidak menyenangkan, dan sama sekali tidak ada kedamaian. Paling-paling yang terlihat, meskipun tidak terang-terangan, adalah rasa iri, gosip, kecemburuan, dan saling sikut demi keuntungan diri pribadi.

Tiba-tiba saja, sebentuk kesadaran melintas di benakku. Ah, betapa tololnya aku selama ini. Memilih terkungkung di tempat yang tidak menyenangkan sementara kedamaian justru ada di luar sini.

Sambil terus melangkah perlahan, karena aku memang memilih berjalan kaki daripada naik kuda, pikiranku terus bermain. Tak henti-hentinya aku menyesali ketololan diriku sendiri, yang selama ini ternyata buta terhadap kenyataan. "Alam yang indah dan damai menunggu untuk dinikmati, aku malahan memilih kehidupan yang penuh dengan udara kotor," begitu berkali-kali aku menggumam menyesali diriku sendiri.

Hanya saja rasa sesal ini tidak sempat berlama-lama memenuhi otak, karena kedamaian dan keindahan alam segera mengusirnya jauh-jauh. Aku merasa menjadi orang baru. Tanpa kusadari, seulas senyum tiba-tiba saja mengembang di bibirku.

Aku sendiri sebenarnya tidak menyadari berjalan sambil tersenyum. Aku baru menyadari hal itu ketika suara centil beberapa orang gadis, yang rupanya tanpa kusadari mendahuluiku, berbicara pelan tetapi cukup jelas untuk kudengar.

"Jalan sendirian sambil tersenyum-senyum ... aneh ya ..." Kemudian disusul oleh cekikikan beberapa temannya.

Seketika aku gelagapan. Senyum segera kusimpan. Tidak enak memang kalau sedang asyik bermain-main dengan pikiran, tiba-tiba saja dikritik orang, apalagi oleh serombongan gadis. Sebenarnya ada yang lebih dari itu. Gadis yang berbicara tadi itu, suaranya seperti tidak asing bagiku. Kulihat rombongan gadis itu sudah agak jauh di depan, karena mereka melangkah cepat.

"Hai," panggilku sambil mempercepat langkah.

Beberapa dari mereka menoleh. Melihat langkahku di percepat mereka ikut mempercepat langkah tetapi aku tidak mau kalah. Sekarang aku berlari. Sekejab saja kudahului, berbalik dan berhenti tepat di depan mereka. Rombongan itu ikut berhenti. Tidak ada pria di antara mereka.

Bukan main gadis-gadis masa sekarang ini. Mendaki gunung tanpa ditemani seorang pria pun.

"Siapa tadi yang berbicara ketika melewati aku?" tanyaku dengan suara sedikit mengancam.

Aku mencoba berbicara dengan muka sedikit ditekuk, sekalipun tidak yakin apakah penampilan dengan sikap seperti itu akan lebih berwibawa atau malahan tampak semakin konyol.

Gadis-gadis itu bukannya menjawab pertanyaan, mereka malah bergerombol semakin rapat dan saling berbisik, bahkan ada yang tertawa cekikan segala. Tentu saja aku semakin penasaran dan jengkel.

Eh, rupanya anak-anak kecil ini belum kenal siapa aku. Coba tanya anak buahku di kantor, siapa atasan paling galak terhadap wanita. Pasti mereka akan menjawab aku. Pernah aku memarahi tukang ketik di kantor, seorang wanita yang masih muda dan manis tetapi apa peduliku dengan wajah manis seorang gadis. Lebih dari dua jam dia kusemprot. Gadis itu kubuat terpaku di depanku, dan esoknya tidak masuk sampai tiga hari.

"Hai, kalian tidak mendengar pertanyaanku?" gertakku dengan suara keras, membuat sebagian dari mereka yang cekikikan menghentikan tawanya.

Melihat gertakanku berhasil, aku semakin garang.

"Kalian kurang mendapat pelajaran sopan-santun di rumah di sekolah, sekaranglah waktunya kalian kudidik sedikit bersikap sopan. Ayo, siapa yang usil dan kurang ajar tadi? Jangan paksa aku bertindak keras pada kalian, dan camkan ini, aku tidak segan-segan bertindak kalau kalian memang memaksaku. Sekarang, siapa yang berkata tadi, maju ke depan sini, aku ingin melihat tampangnya."

Mata kubelalakkan lebar-lebar, tangan kukepal erat, bibir kugerak-gerakkan seperti sedang menahan marah. Pokoknya aku tidak ingin gagal mengatasi gadis-gadis cilik yang kurang ajar ini.

"Hai!" teriakku lagi, setelah kutunggu beberapa saat dan tetap tidak ada yang maju. "Apa aku harus menyeret kalian satu persatu dan menampar mulut kalian, hah?"

Tetap tidak ada yang bereaksi tetapi kulihat muka mereka berubah tegang. Rupanya aktingku tidak mengecewakan. Tekanan ini tidak boleh dikendorkan karena keberhasilan cuma tinggal selangkah lagi.

"Ingat nona manis!" kataku dengan geram sambil menuding mereka semua dengan telunjukku, yang ketika kuperhatikan sendiri ternyata tidak lurus itu. "Kesabaranku hampir habis. Akan kuhitung sampai tiga, kalau si pengecut itu tidak juga berani tampil ke depan, berarti yang lain juga akan menjadi korban. Aku tidak akan ragu-ragu menampar mulut wanita kurang ajar, seperti yang selama ini telah biasa kulakukan."

Untuk pernyataan yang terakhir ini terus terang saja aku berdusta karena jangankan sampai menampar mulut seorang gadis, menyentuh bibir seorang wanita pun belum pernah kulakukan. Sumpah mati, sungguh betul ini!

"Satu ...!" teriakku dengan lantang, mulai menghitung.

Sampai di sini sebenarnya aku telah melangkah terlalu jauh. Kalau sampai hitungan tiga habis dan tetap belum ada di antara mereka yang maju, matilah aku! Bagaimana aku berani menyeret dan kemudian menampar mereka? Dan kalau aku tidak berani melakukan itu, ya ampun, bagaimana pandangan mereka terhadap aku? Bukankah segala kegarangan dan keperkasaan yang ditunjukkan tadi akan raib dan hilang begitu saja?

Ya ampun, sesalku dalam hati, tetapi langkah yang telah diayun, susah ditarik kembali.

"Dua ...," aku berteriak melanjutkan hitungan, sedangkan hati kecilku terus menerus berdoa semoga ada di antara mereka yang berani angkat tangan dan kemudian maju. Kalau tidak, habislah aku hari ini!

Ketika kulihat tetap saja mereka semua terpaku di tempat, sementara aku bermaksud hendak mengulur waktu dengan gaya ancaman yang lain, dan bibirku sudah bersiap-siap membuka untuk melontarkan gertakan yang berikut, sekedar mencari kesempatan menyelamatkan mukaku sendiri, tiba-tiba seorang gadis yang berada di tengah kerumunan rombongan itu, yang sejak tadi tidak jelas kulihat mukanya, mengangkat tangan.

Kalau tidak sedang dalam suasana seperti itu, mungkin aku sudah melonjak kegirangan karenanya.

"Maju ke sini!" perintahku ketus. "Meskipun engkau kurang ajar dan tidak tahu sopan santun, tetapi boleh juga keberanianmu mengakui semua perbuatanmu dan ...."

Mulutku ternganga dan tidak mampu melanjutkan kata-kataku. Gadis yang mengangkat tangan tadi, yang sejak semula tidak kulihat jelas mukanya karena terhalang oleh teman-temannya, ternyata gadis yang tidak asing lagi. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan gadis itu? Bagaimana mungkin aku bisa melupakan wajah itu? Wajah yang hampir persis sama seperti wajah mamanya!

Ya ampun, kalau tadi aku lega karena ada yang mengangkat tangan, sekarang malah sebaliknya. Aku malahan ingin gadis itu tidak mengangkat tangan dan tidak maju ke depan.

Dia adalah Rini, puteri tunggal bosku.

Rini mungkin tidak langsung ingat pada aku, tetapi aku? Bagaimana aku bisa lupa akan wajah itu? Aku yakin gadis manis ini adalah Rini. Tidak ada keraguan lagi. Hampir setiap hari aku bertemu dengan istri bosku, sehingga aku yakin dan tahu pasti akan bentuk dan raut mukanya. Begitu juga dengan gadis manis ini. Pasti ini Rini. Sedikit pun tidak ada perbedaan dengan wajah mamanya. Yang berbeda mungkin cuma sinar matanya. Kalau mamanya mempunyai sinar mata yang matang, gadis yang sekarang berdiri di depanku ini mempunyai sinar mata kekanak-kanakan tetapi keduanya sama-sama mempunyai sinar mata yang indah. Bahkan aku pernah melihat istri bosku tersenyum bukan saja dengan bibirnya, tetapi juga dengan matanya. Oh, alangkah indahnya!

Sekarang apa yang harus kukatakan? Apa yang harus kulakukan? Cepat atau lambat, gadis centil ini pasti tahu siapa aku dan kalau laporan ini sampai pada ayahnya, mati aku! Sebelum berangkat ke sini, aku memang tidak takut dipecat tetapi kalau aku teringat akan wajah manis istri bosku, aku sungguh-sungguh takut dipecat. Anda pikir apa sih yang bisa mengikat aku, orang yang senang akan kebebasan dan keindahan alam, bertahun-tahun mendekam di kantor yang menyesakkan nafas seperti kantorku itu? Uang? Karier? Sama sekali, bukan!

Uang aku memang perlu tetapi tidak akan mengorbankan kebebasan dan kedamaian kalau cuma untuk uang. Apalagi karier. Secuil benang bajuku pun tidak akan kukorbankan kalau cuma untuk karier.

Wajah manis istri bos-lah yang selama ini berhasil menahan langkahku untuk pergi meninggalkan kantor itu. Aku tidak ingin memilikinya. Aku tidak ingin berbuat serong dengannya. Aku tidak ingin merebutnya dari tangan suaminya, yang memang belum tentu bisa. Yang kuinginkan cumalah memandang, bisa menikmati, bisa mengagumi, Karena bukankah kecantikan seorang wanita adalah bagian dari kecantikan alam?

Bukankah kecantikan seorang wanita adalah karunia tertinggi bagi seorang pria? Bukankah kecantikan dan keindahan wajah seorang wanita tidak perlu kalah cuma disandingkan dengan panorama alam yang paling indah sekalipun?

Itulah yang menahan langkahku dan sekarang, sama sekali tidak terduga terjadi peristiwa semacam ini. Otakku berputar cepat mencari jalan kelua yang terbaik.

Sementara itu, kabut-kabut di puncak Bromo yang tadi bisa begitu damai dan indah, sekarang berubah. Mereka seakan-akan mengejek. Mereka seakan-akan menantangku. Menantang akalku, menantang otakku, untuk mengatasi peristiwa ini.

Aku terpaku, sementara rombongan gadis centil itu sedang menunggu tindakanku selanjutnya. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Meminta bantuan kabut-kabut di puncak Bromo yang sekarang berbalik mengejekku itu? Percuma!

Lamat-lamat, beberapa kalimat dari gadis-gadis centil itu sampai di telinga. Mereka mulai pulih keberaniannya melihat aku berdiri terpaku seperti orang linglung.

"Eh, dia mati kutu menghadapi, Rini ...."

"Mungkin wajah Rini yang cantik menaklukkan dia!"

"Atau siapa tahu si edan ini tiba-tiba jatuh cinta pada Rini ..."

Kemudian disusul oleh tertawa cekikikan. Sialan!

Aku tetap terpaku. Aku baru sadar ketika rombongan gadis itu menghilang sementara kabut-kabut di puncak Bromo semakin tebal. Hilang sudah semangatku untuk bercanda dengan kabut-kabut itu. Hilang bersama dengan wajah manis Rini, anak bosku, satu-satunya orang yang pernah membuatku terkesima berlama-lama. (R-SDA-26022021-087853451949)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun