Mohon tunggu...
Severus Trianto
Severus Trianto Mohon Tunggu... Dosen - Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

mengembalikan kata pada dunia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jokowi-Prabowo Sedang Berbalas Nyubit

22 April 2019   14:28 Diperbarui: 22 April 2019   14:34 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Supaya tidak terlalu tegang menyikapi situasi politik tanah air pasca penyoblosan,  kita bernyanyi dulu yuk:

Dunia politik penuh dengan intrik

Cubit sana cubit cubit sini, itu sudah lumrah

Sperti orang pacaran, kalau gak nyubit gak asik


Dunia politik penuh dengan intrik

Kilik sana kilik sini, itu sudah wajar

Sperti orang adu jangkrik, kalau gak ngilik gak asik


Rakyat nonton jadi suporter kasih semangat jagoannya

Walau tahu jagoannya ngibul walau tahu dapur gak ngebul...

(Asik gak asik, Iwan Fals)

Perang klaim kemenangan kubu 01 dan 02 sebenarnya bagian dari intrik politik. Baik Jokowi maupun Prabowo sedang mengilik jangkrik massa pendukung masing-masing, supaya jangan kasih kendor, dan satu sama lain sedang saling menyubit.

Kalau gak ngilik gak asik

Gugatan terhadap hasil quick count bukanlah barang baru. Sejak secara masif dan terstruktur diterapkan pada tahun 2004, metode quick count melahirkan perbantahan dan kerap disanggah oleh pihak yang kalah. Sekredibel apapun suatu lembaga survei, semulus apapun rekam jejak lembaga survei itu, kalau sudah menyentuh soal hasil pilpres, pihak yang kalah pasti menyanggah hasilnya. Pertanyaannya: mengapa harus disanggah kalau benar-benar ilmiah?  

Menurut dugaan saya, dunia politik punya hukum sendiri. Kebenaran ilmiah bukan kunci satu-satunya. Keluar, kubu yang kalah biasanya menuduh lembaga survei salah. Tapi ke dalam, sebenarnya, ada harap-harap cemas jangan sampai kekalahan ini jadi kekalahan total. 

Majalah Tempo (22-28 April 2019) memberikan gambaran lugas. Dalam artikel berjudul Presiden Jakarta Selatan, majalah mingguan itu melukiskan suasana lesu di dalam rumah Jalan Kertanegara ketika hasil quick count baru saja disiarkan:

 "pukul tiga sore pada hari pencoblosan 17 April, wajah tetamu di rumah peninggalan orang tua Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara nomor 4 Jakarta Selatan, terlihat lesu. Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto - Sandiaga Salahuddin Uno, Djoko Santoso, dan Ketua Dewan Kehormatan Parta Amanat Nasional, Amien Rasi menekuk muka."

Pertanyaannya: mengapa suasana lesu di dalam rumah berbanding terbalik dengan pekik kemenangan di luar rumah? Jawabannya satu: cara Prabowo menafsiran hasil quick count. Sekali lagi, Tempo memberikan gambarannya: 

Menurut Prabowo, pernyataan sejumlah lembaga survei bahwa Jokowi-Ma'ruf menang adalah strategi dalam perang urat saraf yang dilancarkan petahana. Prabowo mengatakan media membesar-besarkan hasilnya. "Ini untuk menjatuhkan moral pendukung kita dan menerima kenyataan bahwa mereka menang," ujar Prabowo berapi-api.  Ia pun menyatakan akan mendeklarasikan kemenangannya ke publik. 

Jadi jelas bahwa deklarasi yang dilancarkan Prabowo adalah sebuah psy-war, perang syaraf. Mantan danjen Koppasus itu tak mau anak buahnya loyo sebelum garis akhir. Maka, ia kiliklah para pendukungnya, laksana juragan mengilik jangkrik aduannya.

Apakah kubu petahana bersantai ria karena potensi kemenangan sudah di tangan? Tidak juga. Seperti berbalas pantun, kilikan Prabowo atas para pendukungnya merangsang kubu 01 melakukan hal yang sama. Arsul Sani, Sekjen PPP, berpikir bahwa reaksi Jokowi yang datar-datar saja membuat sejumlah pendukungnya bertanya-tanya:

"Apakah Jokowi-Ma'ruf tidak yakin bahwa 01 ini menang?"ujar Asrul. Maka setelah berkumpul di Restoran Plataran sehari setelah pencoblosan, Jokowi akhirnya menanggapi keunggulannya...

Tapi untuk apa dikilik wong hasil quick count sudah keluar dan biasanya hasil ini tidak menyimpang jauh dari penghitungan final KPU? Untuk apa masih harus mengobarkan semangat lagi? Nah, ini dia.

Kata kunci politik itu adalah kompromi. Dengan perang deklrasi, sebenarnya kedua kubu saling mengirim kode, mengirim pesan. Kan gak asik kalau Prabowo misalnya, dikutip oleh media menelpon ke Jokowi dan mengatakan, "Jangan ambil semuanya dong dik Jokowi. Biar kalah begini, aku ikut andil loh dalam menyemarakkan pesta demokrasi NKRI.." Tidak. Bukan begitu caranya. 

Kalau gak nyubit gak asik

Deklarasi kemenangan, ketidakpercayaan pada lembaga survei dan quick count, sebenarnya kode atau bahasa politik yang kalau ditafsirkan kurang lebih berbunyi demikian: yuk kita ketemuan, saling bicara untuk win win solution. 

Like or dislike, that's the way... itulah grammar tata bahasa politik. 

Tentu jenis bahasa ini bisa menyakitan. Tapi, rasa sakitnya bukan untuk menghajar apalagi untuk menghancurkan. Seperti orang pacaran, ini hanyalah cubitan manja. Mirip seorang gadis yang gemes pada pasangannya. Kilikan Prabow sekaligus cubitannya pada Jokowi, sebuah permintaan untuk berkomunikasi. 

Tidak heran, cubitan dalam bentuk deklarasi kemenangan itu sampai dibuat tiga kali. Rupanya, pihak Jokowi belum sadar pada cubitan pertama dan kedua. Tidak heran juga, reaksi kubu 01 adalah mengirim utusan ke sang kekasih di seberang sana.

Biar komunikasi terjalin. Biar tahu apa yang dikehendaki pihak lain. Maka, politik sebenarnya dialog dan bukan debat. Selesai debat, hanya satu yang keluar dengan kepala tegak, yaitu pihak yang menang. Sebagai dialog, politik ingin supaya siapapun yang terlibat di dalamnya, semuanya keluar dengan kepala tegak.

Bagaimana dengan kita para suporter?

Jelas pesta demokrasi tidak meriah kalau tidak ada kita para suporter. Tetapi hendaknya semakin hari kita semakin cerdas dalam memberikan dukungan. Setelah tahu bahwa politik punya bahasanya sendiri, kita hendaknya tidak menelan mentah-mentah setiap pernyataan yang keluar dari mulut politisi.

Deklarasi menang pihak yang dalam quick count kalah, misalnya, hendaknya ditafsirkan sebagai upaya membangun komunikasi dan kompromi. Ketidakpercayaan pada quick count, adalah cara menyubit supaya diperhatikan oleh pasangannya. Kenapa mesti begitu? Ya itulah dunia politik... seperti mengapa bahasa puisi berbeda dengan bahasa sehari-hari. Intinya: jangan menilai dari yang langsung kelihatan. Jangan menilai mentah-mentah. Kita sendiri yang rugi.

Kalau gak percaya, dengar kelanjutan lagu di awal tulisan ini:

Rakyat lugu kena getahnya buah mangga entah ke mana

Tinggal biji tinggal kulitnya tinggal mimpi ambil hikmahnya

Dunia politik dunia bintang....

Syukur ada dunia politik, ada dunia bintang di mana kita bisa berpesta, keluar dari rutinitas sehari-hari. Asal semua kita jalani menurut rambu-rambu hukum dan kecerdasan yang cukup, kita tidak akan kena getahnya dan tidak membuat dunia politik jadi dunia kebiadaban... dunia pesta pora para binatang, asik gak asik.

Bumi Batavia, awal pekan 22 April 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun