Bedug pun kemudian ditalu dan azan dikumandangkan. Kami semua menyantap kudapan dan minum yang tersedia di hadapan masing-masing sebagai takjil untuk menyegarkan tenggorokan yang susah seharian berpuasa.
Jelas kami sudah tidak dapat mendeteksi lagi makanan ini disumbangkan oleh penyumbang takjil yang mana. Entah dari yang kaya, yang miskin, melayu, tionghoa, muslim, atau non muslim sudah tak ada labelnya lagi. Semua berbaur dan menyatu dengan perbedaannya masing-masing. Sama dengan kerukunan dan keguyuban masyarakat di sini.
Sayang sekali, kekhasan yang saya temui selama Ramadan ini sudah tidak dapat saya nikmati lagi. Saya hanya dapat merindukannya, sebab saya sudah tidak lagi tinggal di Pulau Bangka dan harus berpindah merantau di pulau lainnya. (*)