"Technology will not replace great teachers but technology in the hands of greatÂ
teachers can be transformational." ~George Couros
Literasi ilmiah adalah kemampuan untuk memahami, menggunakan, dan mengevaluasi informasi ilmiah secara kritis dalam kehidupan sehari-hari. Di era inovasi dan teknologi saat ini, budaya literasi ilmiah bukan hanya penting untuk dunia akademik, tetapi juga menjadi dasar masyarakat yang rasional, kritis, dan siap menghadapi tantangan global. Literasi ilmiah adalah kemampuan untuk memahami, menggunakan, dan mengevaluasi informasi ilmiah secara kritis dalam kehidupan sehari-hari (Saraswati dkk., 2021). Di era inovasi dan teknologi saat ini, budaya literasi ilmiah bukan hanya penting untuk dunia akademik, tetapi juga menjadi dasar masyarakat yang rasional, kritis, dan siap menghadapi tantangan global (Lubis dkk., 2021). Kemajuan teknologi memberikan peluang besar dalam memperkuat budaya literasi ilmiah, namun pemanfaatannya belum sepenuhnya optimal. Kesenjangan akses informasi, rendahnya minat baca sains, dan keterbatasan media pembelajaran yang adaptif menjadi tantangan tersendiri (Saraswati dkk., 2021).
Era inovasi dan teknologi ditandai dengan perkembangan pesat dalam kecerdasan buatan, digitalisasi pembelajaran, dan akses terbuka terhadap informasi (Ritonga dkk, 2025). Di satu sisi, teknologi memberi kemudahan luar biasa dalam mengakses sumber daya ilmiah, seperti jurnal open access, platform e-learning, hingga video eksperimen sains (Toharudin dkk., 2023). Di sisi lain, keterampilan memilah informasi yang valid dan berpikir ilmiah masih belum membudaya, terutama di kalangan pelajar (Lubis dkk., 2021).
Literasi ilmiah di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal integrasi teknologi dan penguatan budaya berpikir kritis di kalangan pelajar (Saraswati dkk., 2021; Lubis dkk., 2021). Penelitian menunjukkan bahwa inovasi media pembelajaran digital seperti Wikipedia, blog, dan laboratorium virtual dapat meningkatkan literasi ilmiah secara signifikan (Toharudin dkk., 2023; Lestari, 2020; Putri, 2021). Namun, implementasi teknologi masih terbatas dan belum merata, baik dari sisi akses maupun integrasi dalam kurikulum. Selain itu, rendahnya minat baca sains dan keterampilan memilah informasi valid menjadi hambatan utama. Padahal teknologi seharusnya berperan sebagai akselerator budaya literasi ilmiah. Misalnya, dengan platform digital yang menyediakan sumber belajar berbasis sains yang menarik, interaktif, dan valid secara akademik (Toharudin dkk., 2023; Lestari, 2020). Sayangnya, hingga kini, pemanfaatan teknologi dalam konteks literasi ilmiah masih bersifat parsial dan belum mengakar dalam kurikulum maupun aktivitas siswa sehari-hari (Saraswati dkk., 2021).
Jika potensi ini terus diabaikan, kita akan menghadapi generasi yang melek teknologi tetapi buta ilmiah. Siswa mungkin mahir menggunakan perangkat digital, tetapi kurang memiliki nalar kritis dalam menghadapi hoaks, pseudo-science, dan informasi menyesatkan. Hal ini menjadi urgensi untuk mencari solusi inovatif (Lubis dkk., 2021).
Beberapa penelitian mengembangkan pendekatan inovatif seperti blended learning dengan blog (Lestari, 2020), laboratorium virtual (Putri, 2021), dan pemanfaatan Wikipedia digital library (Toharudin dkk., 2023) untuk meningkatkan literasi ilmiah. Namun, masih sedikit yang merancang platform web terintegrasi yang berorientasi pada siswa dan fokus pada literasi ilmiah.
Maka dari itu, diusulkan inovasi berupa sebuah website edukatif bernama SciLearn (Scientific Literacy Learning) yang didesain khusus untuk memperkuat budaya literasi ilmiah siswa. Website ini tidak hanya menjadi bank materi sains, tetapi juga menyediakan fitur diskusi berbasis masalah ilmiah aktual, kuis kritis, simulasi interaktif, serta pelatihan membaca dan menilai jurnal atau berita sains secara kritis.
SciLearn akan dirancang user-friendly, dengan pendekatan discovery learning dan scaffolding literasi, agar siswa tidak hanya membaca, tetapi juga memahami dan merefleksikan informasi. Penggunaannya dapat diintegrasikan dalam proses pembelajaran di kelas maupun pembelajaran mandiri. Guru bisa memberikan tugas berbasis konten SciLearn, sedangkan siswa dapat mengeksplorasi sains secara aktif dan menarik.
Garis Besar Alur SciLearn:
Prototype Desain SciLearn:
Sintaks Discovery Learning:Â Stimulasi
Fitur:Â Konten Interaktif
Kompetensi PISA: Menjelaskan Fenomena Ilmiah
Penjelasan Sederhana: Menyediakan video, animasi, atau simulasi nyata yang merangsang rasa ingin tahu, sesuai PISA karena membantu menjelaskan fenomena ilmiah, mendukung tahap Stimulasi.
Sintaks Discovery Learning: Identifikasi Masalah
Fitur: Rumus Masalah
Kompetensi PISA: Menjelaskan Fenomena Ilmiah
Penjelasan Sederhana: Membimbing pengguna membuat pertanyaan atau masalah yang fokus dan jelas, mendukung menjelaskan fenomena ilmiah menurut PISA, sesuai tahap Identifikasi Masalah.
Sintaks Discovery Learning: Pengumpulan Data
Fitur:Â Pustaka Data
Kompetensi PISA: Menginterpretasi Data & Bukti Ilmiah
Penjelasan Sederhana: Menyediakan sumber data, artikel, referensi digital untuk mendukung pengumpulan informasi ilmiah, mendukung interpretasi data sesuai PISA, cocok tahap Pengumpulan Data.
Sintaks Discovery Learning:Â Pengolahan Data
Fitur:Â Analisis Data
Kompetensi PISA: Menginterpretasi Data
Penjelasan Sederhana: Membantu pengguna membaca, mengolah, dan menganalisis data di web, mendukung kompetensi interpretasi data PISA, sesuai tahap Pengolahan Data.
Sintaks Discovery Learning: Pembuktian
Fitur:Â Lab Virtual
Kompetensi PISA: Menjelaskan Fenomena Ilmiah & Menginterpretasi Data
Penjelasan Sederhana: Memfasilitasi eksperimen digital untuk menguji hipotesis,mendukung menjelaskan fenomena ilmiah dan interpretasi data PISA, sesuai tahap Pembuktian.
Sintaks Discovery Learning:Â Generalisasi
Fitur:Â Ruang Publikasi
Kompetensi PISA: Mengevaluasi & Merancang Penelitian Ilmiah
Penjelasan Sederhana: Membantu merangkum hasil, membuat laporan, dan mempublikasikan, mendukung evaluasi dan merancang penelitian ilmiah PISA, sesuai tahap Generalisasi. Menyediakan ruang diskusi tanya jawab untuk kolaborasi ide penelitian, mendukung evaluasi dan perancangan penelitian PISA, fitur pendukung semua tahap.
Dengan mengintegrasikan SciLearn dalam pembelajaran, siswa dilatih untuk berpikir ilmiah, bersikap kritis terhadap informasi, dan membangun pemahaman berbasis bukti. Dalam jangka panjang, ini akan memperkuat budaya literasi ilmiah yang menjadi dasar masyarakat berbasis ilmu pengetahuan.
Penguatan budaya literasi ilmiah di era inovasi dan teknologi tidak cukup hanya dengan penyediaan informasi, tetapi harus didukung oleh media yang tepat, menarik, dan aplikatif. Website SciLearn hadir sebagai inovasi yang menjawab kebutuhan tersebut. Melalui pendekatan berbasis teknologi yang dirancang untuk siswa, SciLearn diharapkan mampu mendorong perubahan nyata dalam membudayakan literasi ilmiah sejak dini. Inilah langkah konkret dan relevan dalam membentuk generasi yang bukan hanya pengguna teknologi, tetapi juga pemikir ilmiah yang kritis dan cerdas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI