Mohon tunggu...
Tri Wardhani
Tri Wardhani Mohon Tunggu... dosen dan IRT -

mengajar di Fakultas Pertanian, Univ. Widyagama Malang dan ibu seorang putri yg mulai beranjak dewasa

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Gili Labak, Hidden Paradise in Sumenep

13 Januari 2017   00:24 Diperbarui: 13 Januari 2017   01:24 1216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ooooh, sayya malah belum pernah ke sana, kata si ibu lagi dan berpamitan.

Iyaaa, memang biasanya begitu, penduduk sekitar malah belum mengunjungi tempat wisata yang ada di daerahnya.

Kami pun meneruskan perjalanan sesuai ancer-ancer yang diberikan mas Fadil. Jalan teruuus sampai menemukan tower dan bis-bis yang sedang parkir. And here we are, kami sampai di Desa Tanjung, pelabuhan menuju Gili Labak. Ada 3 bis dan sebuah elf tampak parkir di tepi jalan. Woow sudah banyak yang datang sepagi ini.

Akhirnya bertemulah kami dengan mas Fadil, walaupun suami sudah intensif  berkomunikasi tetapi baru kali ini bertatap muka di dunia nyata. Setelah berkenalan, bersalaman dan menyampaikan terimakasih pada mas Fadil, selanjutnya kami dihubungkan dengan pak To pemilik kapal yang akan mengantar kami ke Gili Labak, sementara mas Fadil berpamitan untuk mengurus rombongan lainnya.

Pak To, lelaki yang berkulit legam terbakar matahari, dengan ramah menawari apakah kami akan makan pagi di sini, ataukah mau dibungkus untuk disantap di Gili Labak. Dengan pertimbangan perut harus terisi sebelum mengarungi laut, maka kami pun pilih sarapan terlebih dahulu, dengan duduk santai di teras rumah tetangga pak To yang bersih yang terbuat dari keramik.

Sarapan yang disajikan termasuk mewah untuk harga 7 ribu per porsi. Lauknya daging ayam dibumbu merah semacam bumbu bali, saya kebagian sepotong paha, ditambah beberapa potong tahu dimasak merah juga, sedikit mie, sayur kangkung diberi bumbu pecel dan sambal. Nasinya banyak porsi lelaki.


Di Desa Tanjung, Sumenep dengan mas Fadil
Di Desa Tanjung, Sumenep dengan mas Fadil
 

Sarapan di Desa Tanjung
Sarapan di Desa Tanjung
Sembari menunggu kami sarapan, pak To memberikan formulir resmi untuk diisi biodata rombongan yang berisi nama, jenis kelamin dan alamat asal. Formulir itu ditandatangani oleh ketua rombongan, nahkoda kapal, dan kepala desa Tanjung dan berstempel kepala desa. Pengunjung ditarik biaya 3 ribu per kepala untuk kas desa, sedang di Gili Labaknya dikenai biaya masuk 5rb. Administrasi yang rapi. Namun belum ada asuransi kecelakaan. 

Setelah sarapan dan bersiap jalan ke pelabuhan, suasana bertambah terang dan ramai. Rombongan lain bergerak dari bis mereka menuju pelabuhan Tanjung juga, sambil membawa tas atau ranselnya, ada juga yang sudah memakai pelampungnya. Sementara para ibu masyarakat setempat juga mulai berdatangan dan menata keranjang berisi ikan basah di pinggir jalan.

Walaupun pemilik kapalnya pak To, tetapi kami dinakhkodai oleh pak Joyo, ditemani oleh seorang navigator. Biaya sewa kapal 600rb pulang pergi.

Sepanjang mata memandang tampak air laut yang berwarna biru keabuan dan deburan air laut yang dibelah oleh kapal. Di garis horison tampak kapal kecil berjejer-jejer bak mainan dalam lemari hias. Langit sedikit mendung berwarna abu-abu muda berserakan. Angin berhembus lembut segar silir-silir. Awalnya saya menikmati pemandangan tersebut. Tetapi perjalanan yang memakan waktu sejam lebih lama-lama membuat jemu. Teman yang lain selfi-selfi kemudian tidur-tiduran untuk mengurangi rasa jemu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun