"Dan kamu pikir aku lebih baik terluka tanpa penjelasan?"
Rey menatapku dengan mata yang berkabut. "Mungkin aku pengecut. Tapi saat itu, aku pikir, kalau kamu marah dan membenciku, kamu akan lebih mudah melupakanku..."
Kami terdiam. Ada begitu banyak yang ingin dikatakan, tapi terlalu banyak luka yang harus diraba ulang jika dipaksa bicara.
Setahun kemudian, Rey meninggal dunia karena kecelakaan. Ia sedang dalam perjalanan pulang dari wilayah bencana, membawa bantuan logistik. Mobilnya tergelincir di tikungan pegunungan, malam hari. Jalan licin. Kabut tebal.
Kabar itu kuterima dari adiknya. Tubuhku gemetar. Dunia terasa kosong.
Damar memelukku malam itu. Aku menangis di dadanya, seperti anak kecil yang kehilangan jalan pulang. Ia tidak bertanya. Tidak menuntut penjelasan. Ia hanya memeluk, dan itu cukup.
Di antara barang Rey, ditemukan sebuah jurnal kecil. Adiknya memberikannya padaku.
Di halaman terakhir tertulis:
"Raya, mungkin cinta kita tidak pernah punya nama. Tapi kau adalah rumah yang tak pernah bisa kupulangkan. Aku tidak pernah ingin pergi, tapi hidup tak selalu adil untuk orang-orang yang mencinta diam-diam."
Aku menyalin kalimat itu dalam buku catatanku sendiri. Bukan untuk menyimpannya, tapi untuk menerimanya. Karena cinta, meski tak selesai dalam pertemuan, bisa selesai dalam pengakuan.
Setiap bulan Juni, ketika hujan pertama turun, aku membuka jendela dan duduk diam di sudut kamar. Gerimis kecil sering mengingatkanku pada malam-malam di Jogja. Pada kopi pahit. Pada tatapan Rey yang tak pernah meminta, hanya menunggu.