Ada malam di mana aku menatap punggung Damar sambil bertanya dalam hati: bagaimana bisa seseorang mencintaiku tanpa menuntut aku sepenuhnya sembuh? Tapi ia tetap di sana. Tak bergeming. Bahkan saat aku menarik napas terlalu dalam hanya untuk menahan tangis yang datang tanpa aba-aba.
Aku tak pernah berpura-pura sepenuhnya utuh. Tapi Damar menerimaku seperti air menerima hujan, apa adanya.
Cintanya tidak menuntut. Tapi justru karena itu, aku belajar menerima. Bukan karena aku lupa, tapi karena aku tak ingin hidup selamanya dalam luka. Dan karena aku tahu, hidup bukan tentang melupakan yang lalu, tapi memilih dengan sadar siapa yang mau menua bersamamu.
Namun ada bagian dari diriku yang tetap sunyi. Ruang yang tak bisa kuisi, karena kuncinya hilang bersama seseorang yang tidak pernah benar-benar pamit.
Sore itu, di sebuah rumah sakit di Jakarta, aku melihatnya lagi. Rey, dengan jaket abu-abu dan langkah yang masih sama. Ia sedang membawa bunga putih dan kado kecil.
Aku nyaris menjatuhkan berkas di tanganku.
"Raya?" suaranya sedikit parau. Tapi nadanya masih sama membuat jantungku lupa irama.
Kami duduk di kantin rumah sakit. Rey sedang menjenguk keponakannya. Aku baru menemani Damar kontrol pasca operasi kecil di lambung.
"Kamu kelihatan... dewasa," ujarnya, sembari menatap cangkir teh yang baru disentuh.
Aku mengangguk. "Dan kamu masih suka kopi hitam tanpa gula, ya?"
Ia tertawa kecil. Sunyi.