"Kalau nanti kamu menikah dengan orang lain," katanya suatu malam, suara kami dibungkus rintik gerimis di luar jendela penginapan, "Boleh nggak aku tetap datang waktu kamu butuh teman bicara?"
Aku menoleh, menatap matanya yang gelap dan jujur.
"Kamu aneh," kataku pelan. "Tapi iya. Aku harap kamu tetap ada, apa pun nanti bentuknya."
Malam itu, kami duduk di lantai, berbagi sisa makanan bungkus nasi kucing dan tawa yang tidak tergesa. Ia mengeluh soal hidup, aku mengeluh soal ibuku yang terus bertanya kapan menikah. Tapi tak satu pun dari kami berani bertanya: maukah kamu tinggal?
Kami seperti dua orang yang tahu ini tak akan lama, tapi tetap memilih berjalan dalam ketidakpastian. Kami tahu jalan ini tidak akan membawa ke altar, tapi kami tetap memilih menapakinya, karena kadang, hadir sejenak lebih berarti daripada absen selamanya.
Lalu, Rey menghilang.
Tanpa pesan. Tanpa pamit. Hanya satu panggilan tak terjawab, lalu dunia sunyi.
Aku menunggunya seminggu. Dua minggu. Sebulan. Kemudian mencoba ikhlas, meski gagal. Kupikir aku marah, ternyata aku patah. Dan itu lebih menyakitkan.
Malam-malam setelah kepergiannya terasa kosong. Telepon yang tak berdering, kursi kafe yang tak pernah lagi kudatangi, dan tawa yang perlahan kehilangan gema.
Kupikir aku berlebihan. Tapi bagaimana kau menamai seseorang yang tidak pernah jadi milikmu, namun meninggalkan lubang sedalam itu?
Tiga tahun berlalu.
Aku menikah dengan Damar, pria yang tidak datang dengan kejutan, tapi dengan ketenangan. Ia mengenalku di kantor, memintaku makan siang, lalu bicara soal hidup dan keinginan memiliki keluarga kecil. Semua terasa aman, tanpa dentuman, tanpa pelarian.
Damar bukan Rey. Tapi ia adalah pelabuhan. Ia selalu memastikan aku pulang dalam keadaan baik, mengusap rambutku ketika aku terlalu lelah bicara, dan membiarkanku menangis jika rindu menyeruak tanpa alasan.