"Apa kabarmu?" tanyanya akhirnya.
Aku menarik napas. Lalu menjawab pelan, "Sudah cukup baik untuk bertahan. Dan... ya. Aku sudah menikah."
Bukan karena ingin mengakhiri percakapan. Tapi karena aku tak ingin membohonginya, juga diriku sendiri.
"Aku... senang dengarnya," ucapnya. Tapi matanya tak bisa berbohong. Ada remuk yang mencoba bertahan.
Aku menatap langit-langit kantin. Sinar sore memantul di dinding kaca, seperti waktu yang sedang menertawakan kami.
"Kenapa kamu menghilang waktu itu, Rey?"
Ia terdiam lama. Lalu berkata, "Ayahku stroke. Aku harus pulang mendadak. Aku bingung, marah, takut. Lalu... ibuku depresi. Rumah kami sempat dijual. Aku kerja serabutan, ambil dua shift. Aku nggak sanggup menjelaskannya padamu."
Aku menggigit bibir. "Kenapa tidak kabari setelah itu?"
Rey menunduk. Jemarinya bergetar.
"Karena kamu terlalu berharga untuk hanya menerima sisa-sisa diriku."
Mataku memanas.