Mohon tunggu...
Tresnaning Diah
Tresnaning Diah Mohon Tunggu... Penulis fiksi dan nonfiksi. Pencinta kata, pejalan sunyi, penyusun napas dari serpih-serpih cerita.

Perempuan yang percaya bahwa setiap luka punya kata, dan setiap kata bisa jadi ruang pulang. Menulis sudah menjadi panggilan hati sejak remaja, tapi baru satu tahun terakhir keberanian itu benar-benar diberi ruang untuk tumbuh dan bersuara. Baginya, menulis bukan hanya tentang mengisi halaman, tetapi menyusun ulang hidup, menemukan makna di balik kehilangan, keheningan, dan hal-hal yang tak pernah sempat diucapkan. Pernah berkarya di industri migas, kini meniti jalan sunyi sebagai perangkai kata. Ia menemukan pelipur bukan hanya dalam kalimat, tetapi juga dalam jejak Langkah, menapaki gunung saat hati merindukan ketenangan, atau sekadar menyelam ke dalam sunyi untuk memahami diri sendiri. Cerita-ceritanya hadir dari ruang paling personal: tentang cinta yang tak selesai, perempuan yang belajar berdiri lagi, dan dunia yang kadang terlalu keras namun tetap ingin dipeluk. Genre favorit: roman reflektif, slice of life, fantasi spiritual, dan kisah yang ditulis dengan nurani.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Antara Gerimis yang Tak Pernah Usai

17 Juni 2025   13:31 Diperbarui: 17 Juni 2025   13:31 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apa kabarmu?" tanyanya akhirnya.

Aku menarik napas. Lalu menjawab pelan, "Sudah cukup baik untuk bertahan. Dan... ya. Aku sudah menikah."

Bukan karena ingin mengakhiri percakapan. Tapi karena aku tak ingin membohonginya, juga diriku sendiri.

"Aku... senang dengarnya," ucapnya. Tapi matanya tak bisa berbohong. Ada remuk yang mencoba bertahan.

Aku menatap langit-langit kantin. Sinar sore memantul di dinding kaca, seperti waktu yang sedang menertawakan kami.

"Kenapa kamu menghilang waktu itu, Rey?"

Ia terdiam lama. Lalu berkata, "Ayahku stroke. Aku harus pulang mendadak. Aku bingung, marah, takut. Lalu... ibuku depresi. Rumah kami sempat dijual. Aku kerja serabutan, ambil dua shift. Aku nggak sanggup menjelaskannya padamu."

Aku menggigit bibir. "Kenapa tidak kabari setelah itu?"

Rey menunduk. Jemarinya bergetar.

"Karena kamu terlalu berharga untuk hanya menerima sisa-sisa diriku."

Mataku memanas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun