Ilogondhang Banyumasan (6): Rama, Rama -- Ketika Budaya Mengajarkan Tekad dan Kejujuran
Oleh: Toto Endargo
Tembang Ilogondhang Banyumasan selalu menarik untuk ditelaah karena bukan sekadar hiburan, melainkan ruang di mana wong Banyumas meluapkan keluh kesah, menyampaikan pitutur, bahkan menyelipkan kritik sosial. Dalam bait keenam ini, nuansa yang hadir adalah keluhan, teka-teki wangsalan, dan parikan yang begitu lugas.
Keluhan Seorang Anak kepada Rama
"Rama, rama-rama, tinggal rama melu sapa..."
Baris ini terdengar seperti jeritan hati seorang anak, khususnya perempuan, yang begitu menggantungkan diri pada ayahnya. Ada kekhawatiran mendalam: jika sang ayah tiada, ia harus ikut siapa? Di sini, kata rama benar-benar bermakna ayah, bukan sekadar sapaan umum seperti biasanya dalam bahasa Banyumas.
Budaya Banyumas memberi gambaran bahwa anak perempuan memiliki kedekatan emosional yang sangat kuat dengan sosok ayah. Ia tempat sandaran, pelindung, sekaligus penentu arah. Maka pertanyaan sederhana dalam tembang ini mengandung renungan psikologis: betapa rapuh seorang anak saat kehilangan figur ayah.
Wangsalan: Kritik Terselubung dalam Simbol Alam
Bagian berikutnya diisi dengan wangsalan---teka-teki khas Jawa yang kaya simbol alam.
- "Turi rawa, turi rawa...
Ku lintang kembang Guyanti..."
Pohon turi di tepi rawa (mlandhingan) dipadukan dengan kembang Jayanti yang berwarna kuning. Dari permainan kata ini lahirlah ungkapan gurandangan nggoleti sing eman maning---seseorang yang tanpa malu mencari pengganti pasangan, dengan alasan ingin mendapat kasih sayang yang lebih tulus.
Sindiran ini mengandung kritik pedas. Ia bisa ditujukan kepada laki-laki, bisa pula kepada perempuan: bahwa manusia sering kali tidak puas, mudah berpaling, mencari yang lain dengan dalih "lebih sayang". Maka wangsalan bukan sekadar teka-teki, melainkan cermin perilaku manusia yang rapuh oleh nafsu.
Parikan: Tekad, Nekat, dan Kasmaran