Mohon tunggu...
Toto Endargo
Toto Endargo Mohon Tunggu... Peminat Budaya

Catatan dan Pembelajaran Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ilogondhang Banyumasan (5): Eman-eman, Sindiran dan Rasa Rumangsa

19 September 2025   11:21 Diperbarui: 23 September 2025   11:47 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilogondhang Banyumasan (5): Eman-eman, Sindiran dan Rasa Rumangsa

Oleh: Toto Endargo

Geguritan Banyumasan kerap menjadi cermin bagaimana masyarakatnya berinteraksi: cablaka, apa adanya, namun juga sarat sindiran halus yang justru terasa tajam. Salah satu contohnya ada dalam rangkaian tembang berikut:

  • Eman, eman, eman, sing emang ketemu kapan
    Dhongkel kelang, dhongkel kelang
    Jeneng bung-ing alang-alang
    Wis sajege wong lanang gede gorohe
  • Bisa gambang ora bisa nyuling, mas mas.
    Bisa nyawang ora bisa nyanding.

Curahan Hati Perempuan

Kata eman-eman yang diulang-ulang bukan sekadar ungkapan kecewa. Ia adalah curahan hati seorang perempuan yang merindukan lelaki tulus---bukan sekadar datang dan pergi tanpa arah. Pertanyaan "sing emang ketemu kapan?" seolah menggantung di udara, menjadi keresahan abadi: kapan kiranya akan ada sosok pria yang bisa dipercaya, yang benar-benar sayang, bukan hanya pandai berjanji?

Di sini tampak bagaimana tembang menjadi ruang curhat perempuan. Ia tidak malu mengeluh, justru memilih lantang bersuara. Sebuah sikap yang mencerminkan keberanian wong Banyumas untuk mengekspresikan isi hati, tanpa dibuat-buat.

Wangsalan yang Menyindir

Bagian berikutnya memakai bentuk wangsalan, teka-teki berlapis makna. Dhongkel kelang menunjuk pada "rajeg" atau tonggak kayu keras yang sulit dicabut. Jeneng bung-ing alang-alang merujuk pada "boreh," pucuk alang-alang muda. Bila keduanya digabungkan, jawaban wangsalan ini membentuk sindiran tajam: wong lanang gede gorohe---sudah wataknya kaum pria besar bohongnya.

Kritik sosial ini diulang-ulang, menandakan bukan sekadar kelakar, tapi semacam kesepakatan sosial. Lelaki sering dipandang mudah mengobral kata-kata, tapi sulit membuktikan. Maka perempuan Banyumas, lewat tembang, menyampaikan pengalamannya dengan cerdas: bukan marah-marah, melainkan sindiran penuh seloroh.

Parikan Rasa Rumangsa

Parikan berikutnya berbunyi: Bisa gambang ora bisa nyuling, bisa nyawang ora bisa nyanding.
Mengambil sampiran dari gamelan---gambang dan suling---isi parikan ini mengajarkan kerendahan hati. Betapapun seorang lelaki mampu melihat perempuan cantik, ia harus bisa rumangsa: tahu diri, tidak memaksa memiliki apa yang tak mungkin digapai. Ada etika sosial di situ---menghargai ruang pribadi, menahan diri dari serakah, dan menerima batas kemampuan diri.

Dari Budaya ke Politik Banyumas

Dari tiga lapisan tadi---keluhan, wangsalan, dan parikan---tersingkaplah wajah budaya Banyumas: blaka suta, berterus terang, penuh sindiran, dan tidak kehilangan rumangsa. Semua itu menjadi kekuatan politik rasa wong Banyumas. Ia bukan politik perebutan kuasa, melainkan politik keseharian: cara orang mengelola relasi, menjaga keselarasan, sekaligus menyuarakan kritik sosial.

Jika ditarik ke konteks hari ini, sindiran "wong lanang gede gorohe" terasa pas menggambarkan keresahan masyarakat pada janji-janji pembangunan yang seringkali manis di ucapan tapi seret di bukti. Jalan rusak yang tak kunjung diperbaiki, aliran irigasi yang macet, atau janji program kesejahteraan yang tinggal wacana---semua itu kerap menimbulkan rasa "eman, eman, sing eman ketemu kapan" di hati wong cilik.

Budaya Banyumas mengajarkan bahwa sindiran kadang lebih ampuh dari kemarahan. Dengan parikan, geguritan, dan guyonan, wong Banyumas mampu melontarkan kritik tanpa kehilangan rasa hormat. Ini adalah cara politik lokal yang elegan: mengingatkan penguasa agar tidak kebablasan, sambil menegaskan bahwa rakyat punya suara, meski disampaikan dengan cablaka.

Lanjutkan membaca: Ilogondhang Banyumasan (6): Rama-rama - Budaya Mengajarkan Tekad dan Kejujuran

Penutup

Ilogondhang, sekali lagi, bukan sekadar tembang hiburan. Ia adalah falsafah lokal yang mengajarkan wong Banyumas untuk jujur pada diri, sopan pada sesama, kritis terhadap kuasa, dan rendah hati dalam rumangsa. Dalam dunia yang makin penuh janji-janji besar, suara kecil dari Ilogondhang justru terasa lebih jernih: bahwa kebenaran tidak selalu datang dari pidato panjang, melainkan dari sindiran sederhana yang keluar dari hati rakyatnya sendiri. ===

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun