Parikan berikutnya berbunyi: Bisa gambang ora bisa nyuling, bisa nyawang ora bisa nyanding.
Mengambil sampiran dari gamelan---gambang dan suling---isi parikan ini mengajarkan kerendahan hati. Betapapun seorang lelaki mampu melihat perempuan cantik, ia harus bisa rumangsa: tahu diri, tidak memaksa memiliki apa yang tak mungkin digapai. Ada etika sosial di situ---menghargai ruang pribadi, menahan diri dari serakah, dan menerima batas kemampuan diri.
Dari Budaya ke Politik Banyumas
Dari tiga lapisan tadi---keluhan, wangsalan, dan parikan---tersingkaplah wajah budaya Banyumas: blaka suta, berterus terang, penuh sindiran, dan tidak kehilangan rumangsa. Semua itu menjadi kekuatan politik rasa wong Banyumas. Ia bukan politik perebutan kuasa, melainkan politik keseharian: cara orang mengelola relasi, menjaga keselarasan, sekaligus menyuarakan kritik sosial.
Jika ditarik ke konteks hari ini, sindiran "wong lanang gede gorohe" terasa pas menggambarkan keresahan masyarakat pada janji-janji pembangunan yang seringkali manis di ucapan tapi seret di bukti. Jalan rusak yang tak kunjung diperbaiki, aliran irigasi yang macet, atau janji program kesejahteraan yang tinggal wacana---semua itu kerap menimbulkan rasa "eman, eman, sing eman ketemu kapan" di hati wong cilik.
Budaya Banyumas mengajarkan bahwa sindiran kadang lebih ampuh dari kemarahan. Dengan parikan, geguritan, dan guyonan, wong Banyumas mampu melontarkan kritik tanpa kehilangan rasa hormat. Ini adalah cara politik lokal yang elegan: mengingatkan penguasa agar tidak kebablasan, sambil menegaskan bahwa rakyat punya suara, meski disampaikan dengan cablaka.
Lanjutkan membaca: Ilogondhang Banyumasan (6): Rama-rama - Budaya Mengajarkan Tekad dan Kejujuran
Penutup
Ilogondhang, sekali lagi, bukan sekadar tembang hiburan. Ia adalah falsafah lokal yang mengajarkan wong Banyumas untuk jujur pada diri, sopan pada sesama, kritis terhadap kuasa, dan rendah hati dalam rumangsa. Dalam dunia yang makin penuh janji-janji besar, suara kecil dari Ilogondhang justru terasa lebih jernih: bahwa kebenaran tidak selalu datang dari pidato panjang, melainkan dari sindiran sederhana yang keluar dari hati rakyatnya sendiri. ===
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI