Dialog tentang Hak, Restu, dan Keikhlasan
Keduanya terlibat percakapan yang sarat makna. Ki Tolih menanyakan pendapat Jaka Kaiman tentang keris tersebut. Jawaban Jaka Kaiman mencerminkan prinsip keadilan dan keikhlasan: tidak ingin mengambil milik orang lain, namun menghargai pemberian yang datang dari hati.
Melihat ketulusan itu, Ki Tolih menyerahkan keris tersebut secara resmi, sembari menyampaikan pesan yang kemudian menjadi ramalan: bahwa Jaka Kaiman dan keturunan kelak akan memegang tampuk kepemimpinan di Wirasaba, dengan tanggung jawab melindungi sanak yang lemah, dan menjaga martabat meski derajat meninggi.
Wejangan Ki Tolih: Pesan Luhur Seorang Wikan
Ki Tolih tidak hanya menyerahkan keris, ia juga menitipkan wasiat. Pusaka itu harus disimpan sebagai "jimat paripih" di Kejawar, bukan dibawa ke medan perang setelah turun tujuh generasi. Ki Tolih melantunkan tembang Sinom yang berisi wasiat kepada Kyai Mranggi:
"Nanging ta dhuwung punika, kawula tilar ing ngriki, kawula wasiyatena, dadosa jimat ing ngriki, ingkang kula warisi, putra sampeyan pun kulup, nanging weweling kula, lamon tumuruning benjing, turun pitu tan kenging kabekta aprang."
Terjemahan bebas:
"Namun, keris ini aku tinggalkan di sini. Aku wasiatkan kepadamu, jadikanlah ia jimat di tempat ini. Keris ini adalah warisan dari putramu yang masih muda. Tetapi pesanku, kelak di kemudian hari, hingga tujuh keturunan, keris ini tidak boleh dibawa berperang."
Pesan ini bukan sekadar larangan teknis, tetapi amanah yang memuat pandangan hidup: pusaka ini adalah penjaga harmoni, bukan alat agresi. Mencerminkan kesadaran bahwa pusaka bukan semata senjata, melainkan pengikat moral dan pengingat sejarah keluarga. Larangan membawanya berperang mengandung makna "pangreksa" (penjaga), bukan "pangruwuh" (pembawa petaka).
Secara filosofis, ini adalah bentuk "tapa brata pusaka": menahan diri dari memanfaatkan kekuatan magis untuk tujuan agresif. Bagi orang Jawa, pantangan semacam ini menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan keselarasan hidup.
Pusaka sebagai Simbol Politik Budaya
Dalam kacamata politik Jawa, penyerahan pusaka bukan hanya transfer kepemilikan benda. Ia adalah peneguhan legitimasi. Dengan menerima Gajah Endra beserta pesan leluhur, Jaka Kaiman menerima semacam "restu gaib" untuk kelak memimpin. Ini adalah diplomasi simbolik: Ki Tolih tidak mengangkat Jaka Kaiman secara langsung menjadi pemimpin, tetapi memberi tanda melalui pusaka---bahwa ia telah layak.