Onje sebagai Tanah Pakem Sukma
Mengapa bagian ini muncul di awal babad Onje? Jawabannya bisa jadi karena sejak awal, Onje diletakkan bukan hanya sebagai pusat administrasi, tetapi sebagai tanah pakem sukma. Sebelum ada adipati, ada wejangan jiwa. Sebelum ada kekuasaan, ada kesadaran batin. Inilah yang membuat Onje berbeda: ia bukan hanya lahir dari politik, tetapi dari laku spiritual.
Hubungan Pajang dan Laku Tasawuf
Sultan Pajang dikenal mewarisi tradisi Demak yang sarat tarekat. Dengan menempatkan kisah Sukma Maha Suci dalam Babad Onje, kita melihat pola itu dipindahkan ke barat. Onje bukan sekadar benteng kekuasaan; ia adalah simpul ajaran, titik di mana laku tasawuf menanamkan akar di tanah Banyumas.
Gema yang Masih Terdengar
Wejangan ini bukan hanya milik masa lalu. Kalimat aja angrasa mati masih bergema dalam tradisi Jawa pedalaman, dalam doa-doa ngelmu sangkan paraning dumadi. Bahkan, dalam ritual-ritual masyarakat Onje hari ini, ada pantulan pesan itu: kesadaran bahwa hidup lebih luas dari tubuh, bahwa sukma tetap pulang.
Dan ketika kita tahu Onje masih memegang kalender ABOGe, kita melihat kesinambungan yang menarik: selain menjaga pakem waktu, Onje juga menjaga pakem sukma.
Baca juga: Ilmu Panglepasan dan Banyu Urip Onje
Penutup: Naskah yang Berbicara pada Jiwa
Membaca bagian Sukma Maha Suci membuat kita sadar bahwa Babad Onje bukan hanya arsip kadipaten. Ia adalah teks yang berbicara pada jiwa, mengingatkan bahwa sejarah tidak hanya tentang siapa memerintah siapa, tetapi tentang bagaimana manusia mengenali dirinya.
Onje, lewat kisah ini, menjadi bukan hanya titik di peta, tetapi cermin. Cermin yang berkata: sebelum tanah ini jadi kadipaten, ia sudah menjadi tanah jiwa. Sebelum ada nama-nama penguasa, ada satu nama yang disematkan pada manusia: Sukma Maha Suci.