Ali-aliningsun, inti roh, ditempatkan dalam sumur jumbleng---sebuah ujian simbolis yang sarat makna. Tak ada abdi yang berani. Hanya Tepus Rumput yang turun, dan di sanalah wejangan itu muncul:
"... kawruhana yen jeneng pakanira Sukma Maha Suci. Aja angrasa mati, aja angrasa rusak kalbune. Saben rahina wengi iman suci, ma'lum roh tetep mulih langgeng..."
Ini bukan sekadar pesan moral. Ini adalah ajaran tasawuf: mengenal diri sebagai sukma yang abadi. Onje sejak awal diletakkan di persimpangan politik dan spiritual. Sebelum ada kadipaten, ada kesadaran jiwa.
Laku sebagai Legitimasi
Cerita Kiyai Tepus Rumput mencerminkan pola klasik kerajaan Jawa. Sultan Pajang, yang ingin menata wilayah barat, tidak hanya menempatkan demang dan adipati. Ia menanamkan legitimasi batin. Pertapa lokal menjadi penghubung: Onje tidak hanya tunduk kepada pusat, tetapi memiliki akar mistik yang membuatnya istimewa.
Inilah mengapa kemudian Kadipaten Onje bukan hanya wilayah administratif. Ia lahir dari "tanah laku." Sultan tidak sekadar membagi wilayah; ia mengikatnya dengan sukma.
Tanah Ibu dan Awal Kadipaten
Dari kisah ini, kita bisa membaca pendirian Kadipaten Onje bukan hanya sebagai strategi politik, tetapi sebagai penanaman pakem. Onje menjadi "tanah ibu" di barat, bukan hanya karena posisinya strategis, tetapi karena ada laku yang melandasinya. Pertapaan Tepus Rumput adalah fondasi spiritual; titah Sultan Pajang adalah fondasi politik. Dari dua arus inilah Onje berdiri.
Jejak yang Masih Terasa
Wejangan Sukma Maha Suci bukan sekadar cerita masa lalu. Kalimat aja angrasa mati, aja angrasa rusak kalbune adalah gema panjang yang masih terasa dalam tradisi Banyumas. Bahkan hingga kini, Onje masih memegang pakem kalender ABOGe---Alip Rebo Wage---yang berasal dari masa Pajang--Mataram. Ini bukan kebetulan. Onje menjaga bukan hanya tanahnya, tetapi juga ritme waktu dan kesadaran sukma.
Baca juga: Wejangan Sukma Maha Suci Ajaran Jiwa dalam Babad Onje