Babad Onje: Onje Lahir dari Laku - Kiyai Tepus Rumput dan Titah Sultan Pajang
Oleh: Toto Endargo - Membaca Serat Sejarah Babad Onje (1)
Di lereng timur Gunung Slamet, ada satu nama yang tak pernah hilang dari ingatan sejarah Purbalingga - Banyumas: Onje. Banyak orang mengenalnya sebagai desa tua dengan jejak kadipaten, tetapi Punika Serat Sejarah Babad Onje menyimpan lapisan yang lebih dalam. Di halaman awal naskah itu, kita bertemu seorang pertapa, sebuah titah raja, dan wejangan yang menyatukan tanah, tahta, dan sukma.
Pertapa di Lereng Barat
Naskah membuka cerita dengan kalimat sederhana:
"Punika Serat Sejarah Babad Onj. Ingkang mertapa ing Onj nami Kiyai Tepus Rumput, sampunipun mertapa lajeng suwita dhatng Kanjeng Sultan Pajang."
Seorang pertapa, Kiyai Tepus Rumput, meninggalkan sunyinya dan bersujud kepada Sultan Pajang. Dalam tradisi Jawa, pertapa bukan hanya pencari sunyi. Ia sering menjadi jembatan antara tanah dan kekuasaan. Dengan cerita ini, Babad Onje memberi pesan: awal Onje bukan sekadar titah administratif, tetapi lahir dari laku, dari manusia yang menggabungkan hening pertapaan dan pengabdian kepada pusat.
Ali-Aliningsun: Inti yang Tersembunyi
Tak lama setelah Tepus Rumput suwita, datanglah ujian dari Sultan Pajang:
"Sapa sira bocah ingsun kang bisa anjuput ali-aliningsun, Socaludira wasiyat, saiki kalebu aneng sumur jumbleng."
Ali-aliningsun, inti roh, ditempatkan dalam sumur jumbleng---sebuah ujian simbolis yang sarat makna. Tak ada abdi yang berani. Hanya Tepus Rumput yang turun, dan di sanalah wejangan itu muncul:
"... kawruhana yen jeneng pakanira Sukma Maha Suci. Aja angrasa mati, aja angrasa rusak kalbune. Saben rahina wengi iman suci, ma'lum roh tetep mulih langgeng..."
Ini bukan sekadar pesan moral. Ini adalah ajaran tasawuf: mengenal diri sebagai sukma yang abadi. Onje sejak awal diletakkan di persimpangan politik dan spiritual. Sebelum ada kadipaten, ada kesadaran jiwa.
Laku sebagai Legitimasi
Cerita Kiyai Tepus Rumput mencerminkan pola klasik kerajaan Jawa. Sultan Pajang, yang ingin menata wilayah barat, tidak hanya menempatkan demang dan adipati. Ia menanamkan legitimasi batin. Pertapa lokal menjadi penghubung: Onje tidak hanya tunduk kepada pusat, tetapi memiliki akar mistik yang membuatnya istimewa.
Inilah mengapa kemudian Kadipaten Onje bukan hanya wilayah administratif. Ia lahir dari "tanah laku." Sultan tidak sekadar membagi wilayah; ia mengikatnya dengan sukma.
Tanah Ibu dan Awal Kadipaten
Dari kisah ini, kita bisa membaca pendirian Kadipaten Onje bukan hanya sebagai strategi politik, tetapi sebagai penanaman pakem. Onje menjadi "tanah ibu" di barat, bukan hanya karena posisinya strategis, tetapi karena ada laku yang melandasinya. Pertapaan Tepus Rumput adalah fondasi spiritual; titah Sultan Pajang adalah fondasi politik. Dari dua arus inilah Onje berdiri.
Jejak yang Masih Terasa
Wejangan Sukma Maha Suci bukan sekadar cerita masa lalu. Kalimat aja angrasa mati, aja angrasa rusak kalbune adalah gema panjang yang masih terasa dalam tradisi Banyumas. Bahkan hingga kini, Onje masih memegang pakem kalender ABOGe---Alip Rebo Wage---yang berasal dari masa Pajang--Mataram. Ini bukan kebetulan. Onje menjaga bukan hanya tanahnya, tetapi juga ritme waktu dan kesadaran sukma.
Baca juga: Wejangan Sukma Maha Suci Ajaran Jiwa dalam Babad Onje
Penutup: Sebelum Tahta Ada Laku
Membaca kisah Kiyai Tepus Rumput membuat kita sadar: Onje tidak pernah lahir sebagai kadipaten kosong. Ia dibentuk oleh laku, oleh pertemuan antara sunyi pertapaan dan titah raja. Sebelum ada tahta, ada laku. Sebelum ada kadipaten, ada sukma.
Babad Onje tidak menulis sejarah kering. Ia menyulam cerita yang membuat Onje bukan sekadar wilayah, tetapi tanah yang mengingat, tanah yang menjaga pakem sukma. Dan dari sanalah perjalanan panjang Onje dimulai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI