Babad Onje: Wejangan Sukma Maha Suci - Ajaran Jiwa dari Babad Onje
Oleh: Toto Endargo - Membaca Serat Sejarah Babad Onje (2)
Di antara halaman Punika Serat Sejarah Babad Onje, ada satu bagian yang membuat naskah ini bukan sekadar catatan sejarah kadipaten, melainkan teks ajaran jiwa. Setelah Kiyai Tepus Rumput turun ke sumur jumbleng atas titah Sultan Pajang, terdengar sebuah wejangan yang sederhana namun dalam: mengenali diri sebagai Sukma Maha Suci.
Teks Jawa (Transliterasi):
"... kawruhana yen jeneng pakanira Sukma Maha Suci. Dadi pakanira aja angrasa mati, aja angrasa rusak kalbune. Saben rahina wengi iman suci, ma'lum roh tetep mulih langgeng suci sampurna. Giling badan suci sarira gumilang-gilang kadi gedhah winasuhan. Mulih kejatining palang kajati sampurna jat munggah kejapatu, urip salawase. Nuli kejapatu nanging urip kena mati, langgeng tan kena owah."
Terjemahan Bebas:
"... ketahuilah, namamu adalah Sukma Maha Suci. Maka jadikan itu pakanmu. Jangan merasa mati, jangan merasa hatimu rusak. Siang dan malam, imanlah dengan suci; sadarilah bahwa roh selalu pulang, abadi, sempurna. Tubuh suci, raga bercahaya seperti cahaya bulan yang dijaga. Pulang pada hakikat sejati, mencapai kesempurnaan. Hidup selamanya. Hidup itu bisa mati, tetapi keabadian tak bisa berubah."
Ajaran Jiwa di Balik Naskah
Bagian ini membuat Babad Onje berdiri di antara dua dunia: sejarah politik dan tasawuf. Pesannya bukan sekadar legitimasi kadipaten, tetapi wejangan yang mengingatkan manusia pada hakikat dirinya. Aja angrasa mati, aja angrasa rusak kalbune---kalimat yang terasa seperti bisikan seorang mursyid kepada muridnya.
Di sini, kita melihat pengaruh Islam Jawa yang kental. Wejangan tentang sukma yang abadi adalah inti banyak laku tarekat. Dalam bahasa sufistik, ini adalah ajaran ma'rifat: mengenal diri untuk mengenal Tuhan.