Mohon tunggu...
Toto Endargo
Toto Endargo Mohon Tunggu... Peminat Budaya

Catatan dan Pembelajaran Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Babad Onje: Di Bawah Suhunan Plered - Depopulasi dan Bayang Perang Trunajaya

4 Agustus 2025   11:30 Diperbarui: 5 Agustus 2025   22:34 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Depopulasi dan Bayang Perang Trunajaya - Meta AI

Babad Onje: Di Bawah Suhunan Plered -- Depopulasi dan Bayang Perang Trunajaya

Pagi yang dingin di tepi Sungai Klawing, tanah Onje mungkin pernah hening. Sawah-sawah terbentang, tetapi banyak lahan dibiarkan kosong. Rumah-rumah berjauhan, desa terasa lengang. Tidak ada catatan suara ratapan, hanya satu kalimat pendek dalam naskah kuno yang seakan berbicara:

"Cacah Onje kabukten kawula tigang lawe den cacah kepanggih kawanatus."

Dari awalnya 200 mardika --- sekitar 800 jiwa saat didirikan di masa Pajang --- kini hanya tinggal tigang lawe, sekitar 300--400 orang. Angka ini membuat kita bertanya: apa yang telah terjadi dengan Onje di masa itu?

Dari 200 Mardika ke Tigang Lawe

Ketika Sultan Hadiwijaya (Pajang) memberikan tanah kepada Kiyai Ageng Ore-ore sebagai hadiah pernikahan, naskah mencatat:

"Lan sira, manira paringi bumi karya rongatus mardika..."

Dalam administrasi Jawa, 200 mardika berarti 200 cacah bebas pajak. Jika satu cacah mewakili 4 jiwa, populasi awal Onje sekitar 800 orang --- jumlah wajar untuk sebuah kadipaten baru.

Beberapa generasi kemudian, di masa Amangkurat I (Suhunan Plered), naskah yang sama mencatat:

"...den cacah Onje kabukten kawula tigang lawe den cacah kepanggih kawanatus."

Tigang lawe bisa dibaca sebagai 300--400 jiwa, atau 75 kepala keluarga jika memakai tafsir cacah. Artinya, populasi Onje menyusut hampir separuh dari kapasitas awalnya.

Teks Babad yang Menyimpan Cerita

Dalam Punika Serat Sejarah Babad Onje bagian ini muncul setelah penyebutan Pangeran Sukowati dan Suhunan Plered:

"Sasurude Kiyai Wiraguna ketampen dhateng Pangeran Sukowati. Lan sasurude Sultan ketampen dhateng Suhunan Plered. Kersane Suhunan anjenengaken banon dhateng kawula tengahan, kapundhutan damel kawula saleksa lan pamanipun Kiyai Tumenggung Pangsengangan kalih Tumenggung Yudabangsa den pengkoni bumi tengahan lan den cacah Onje kabukten kawula tigang lawe den cacah kepanggih kawanatus. Kelintir tiyang Purbasari kinarya bantu dhateng kawula iya luwiyan."

Dari kutipan ini, kita membaca tiga hal:

  • Penduduk Onje menyusut drastis: tinggal tigang lawe.
  • Migrasi dari Purbasari: sebagian orang dipindahkan untuk mengisi kekosongan.
  • Penempatan pejabat pusat: dua tumenggung --- Pangsengangan dan Yudabangsa --- mengelola langsung wilayah inti Onje.

Bayang Perang Trunajaya

Apa yang membuat Onje kehilangan hampir setengah penduduknya? Salah satu jawabannya mungkin ada pada Perang Trunajaya (1674--1680).

Perang besar ini memaksa Mataram menarik kawula dari berbagai kadipaten untuk menjadi prajurit. Banyak yang tidak pernah kembali. Tigang lawe dalam naskah bisa jadi adalah angka sisa dari peristiwa itu: sebuah kadipaten yang rakyatnya habis diserap oleh perang dinasti.

Migrasi orang Purbasari ke Onje memperlihatkan langkah pemulihan --- seperti menanam kembali kehidupan di tanah yang kehilangan denyutnya.

Onje, Saksi Senyap Sejarah Besar

Onje dalam teks ini bukan sekadar nama tempat. Ia adalah cermin bagaimana politik kerajaan menorehkan luka di desa-desa. Amangkurat I mungkin melihatnya sebagai wilayah strategis yang harus diatur ulang. Tetapi bagi rakyat kecil, Onje adalah rumah yang tiba-tiba kosong, sawah tanpa tangan, dan nama-nama yang tak kembali dari medan perang.

Baca juga: Perdikan Onje di Bawah Karanglewas

Sejarah yang Tertulis dalam Angka

Tidak ada kisah pertempuran dalam babad ini, tidak ada ratapan perang. Hanya angka: 200 mardika di awal, lalu tigang lawe di masa Suhunan Plered. Tetapi di balik angka-angka itu, ada kisah paling keras: kehilangan manusia.

Kadang sejarah besar kerajaan tidak ditulis dengan pedang atau mahkota, tetapi dengan hitungan kecil di naskah tua, yang mengingatkan kita bahwa di balik setiap politik besar, ada desa-desa yang sunyi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun