Menjadi sifat aslinya. Punta selalu berbicara dengan nada yang tenang dan penuh kehati-hatian, tidak ingin mengganggu orang lain. Kini ia pun tak ingin mengganggu kediaman Tia. Padahal sesungguhnya keduanya ingin ada kata, ingin ada tanya-jawab dan cerita yang heboh. Tapi kembali lagi keduanya benar-benar lugu, lucu dan wagu.
Sementara sang gadis Tia, pun hanya mampu berbicara lewat tatapan matanya yang lembut. Mata yang bulat itu, selalu sedikit berbinar, seakan mencerminkan sifatnya yang penuh perhatian dan lembut. Meskipun Tia, kali ini menjadi gadis pemalu yang memalukan, namun tatapan matanya sering kali mencuri perhatian. Matanya menunjukkan kedalaman dan kehangatan dirinya terhadap Punta.
Ditolong Pohon Gondhang
Berjam-jam berlalu, dan hanya suara angin yang mengisi kekosongan. Walau begitu, ada satu hal yang membuat keduanya merasa sedikit lebih dekat. Punta tiba-tiba mengeluarkan pisau kecil dan mulai mengukir dua nama di sebuah pohon besar di sana, pohon Gondhang, yang ternyata seakan jadi penolong keduanya.
Tia tersenyum melihatnya, sedikit terharu karena meski tidak ada kata-kata yang terucap, menurutnya ada banyak cerita yang tertulis di ukiran itu. Keduanya berdiri di sana, menatap pohon itu, merasakan kenangan yang diharapkan terus tumbuh bersama tumbuhnya si pohon Gondhang.
Puas berjam-jam dalam diam. Puas menikmati ukiran di batang pohon Gondhang. Puas menikmati sejuknya angin di rerimbunan pepohonan. Dengan sebuah isyarat kecil, keduanya bergeser, perlahan menuju pintu keluar. Suara kecipak air, semakin tidak terdengar. Bayang ukiran di batang Gondhang tercetak di benak keduanya; "Punta -- Tia"
Dua Nama Dalam Satu Bingkai
Kadang, tidak perlu banyak kata untuk merasa dekat. Yang penting adalah momen-momen indah walaupun sederhana. Rasa hati untuk mereka rasanya tidak perlu dijelaskan dengan kata-kata vulgar. "Punta -- Tia", dua nama dalam satu bingkai. Dua nama dalam satu keindahan murni.
Kembali ke kota. Kembali pula naik angkot. Kali ini mereka duduk bersebelahan, tak berjarak sesentipun. Aneh. Walau rasanya seperti ada banyak hal yang ingin Tia ungkapkan, tapi mulutnya terasa terkunci. Begitu juga dengan Punta, tidak ada satu kata pun yang terucap dari bibirnya. Keduanya sampai di Alun-alun kota, masih dalam suasana keheningan yang aneh.
Dan meskipun hari itu keduanya hanya diam, tetapi sesungguhnya ada banyak cerita yang tidak terucap, yang tersimpan dalam senyuman dan tatapan mata keduanya.
Sentuhan di Akhir Perjalanan