Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Refleksi: Mudahnya Mengubah Peraturan, Baru Kandidat Doktor Pun untuk Iklan

24 Juli 2021   10:37 Diperbarui: 24 Juli 2021   17:09 5655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang menggekitik adalah ada nara sumber yang gelar di depannya di tempel Dr. (c) ...  atau Doktor Kandidat/Kandidat Doktor. Mengapa menggelitik?

Banyak pembicara dalam seminar daring di masa pandemi ini hadir dengan fenomena penggunaan gelar "Doktor Kandidat/Kandidat Doktor" yang tercantum dalam publikasi.

Malah banyak ditulis dengan pola yang tidak seragam. Ada yang menulis dengan Dr. (Cand), ada pula dengan menuliskannya dengan Dr (Cand), ada juga dengan Dr. (Can), ada juga yang ditulis Dr. (C), dan sebagainya.

Mengapa bisa begitu? Tidak seragam tetapi seolah sah dan terus saja ada yang menggunakan, sehingga gelar itu menjadi seperti main-main dan tak formal. Apa masalahnya?

Terhadap kasus gelar ini, faktanya Perguruan tinggi tidak pernah memberikan gelar akademik ini kepada mahasiswanya. Namun, anehnya, kini banyak berseliweran penggunaan gelar-gelaran ini sejak pandemi corona. Mirisnya, keanehan itu justru terjadi di institusi pendidikan tinggi yang seharusnya bisa menjaga marwahnya.

Sejatinya, sebelum pandemi penggunaan gelar-gelaran seperti ini sebenarnya sudah lazim terjadi di masa kampanye pemilu. Masyarakat dengan mudah menjumpai  para politisi yang menggunakan gelar-gelar akademik dalam iklan dan promosinya, namun tidak jelas institusi perguruan tinggi mana yang memberikannya.

Setali tiga uang,  dalam iklan-iklan pengobatan tradisional juga menampilkan gelar akademik para ahli yang dipromosikan, tetapi dari segi kompetensi sangat meragukan bahwa mereka mampu menyembuhkan segala macam penyakit.

Masih ingat kasus profesor yang telah menemukan cairan antibodi Covid-19 pada bulan April 2020? Saat itu,  klaim Hadi Pranoto menjadi berita di berbagai media massa. Tetapi, pada akhirnya terbukti jika Hadi Pranoto hanya beriklan.

Namun, untuk kasus penggunaan gelar Doktor Kandidat/Kandidat Doktor dalam iklan seminar daring, masyarakat wajib mengetahui bahwa, sesuai Pasal 4 ayat 1 Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 178/U/2001 Tentang Gelar Dan Lulusan Perguruan Tinggi, dinyatakan bahwa yang berhak menggunakan gelar akademik adalah lulusan pendidikan akademik dari Sekolah Tinggi, Institut atau Universitas. Dari pasal ini jelas bahwa gelar akademik hanya bisa diberikan setelah menempuh pendidikan, bukan ketika masih menempuh pendidikan.

Selain itu, pada Pasal 10 Ayat 1 Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 2014 Tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Serta Gelar Lulusan Perguruan Tinggi dinyatakan bahwa gelar diberikan kepada mahasiswa yang telah menyelesaikan semua persyaratan yang dibebankan dalam mengikuti suatu program studi dan dinyatakan lulus sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Lebih parah, adanya penggunaan kata Candidate yang disingkat menjadi Cand/Can juga melanggar peraturan.  Pada ayat 2 dari pasal yang sama disebutkan bahwa gelar yang diperoleh dari perguruan tinggi Indonesia harus menggunakan Bahasa Indonesia. Candidate adalah istilah dalam Bahasa Inggris, bukan Bahasa Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun