Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Marah Tingkat Rendah dan UU Cipta Kerja

23 Oktober 2020   13:47 Diperbarui: 23 Oktober 2020   13:55 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tribunnews.com


Mungkin tidak populer, namun istilah "Marah Tingkat Rendah dan Marah Tingkat Tinggi" (MTR dan MTT) dalam dunia pendidikan bahkan sudah pernah saya bagi kepada murid-murid saya sejak puluhan tahun yang lalu karena hal ini termasuk dalam ranah keterampilan berbahasa dan literasi seseorang.Intinya, bila ada skala 0-10 saat kita marah, baik dari segi vokal (volume suara), intonasi, ekspresi, dan bahasa tubuh, saat kita harus marah kepada sesama orang yang tingkat kecerdasan integensi dan emosiya tinggi, maka tak perlu kita MTR yang harus menggunakan skala 8/9/10. Tak perlu dengan lontaran kata-kata, tak ada volume bicara, tak ada intonasi dan ekspresi, cukup dengan bahasa tubuh diam. Maka, orang yang kita tuju marah, tentu akan paham dengan sikap yang kita tunjukkan di hadapannya.

Berbeda dengan saat kita harus marah kepada orang yang tingkat intelegensi dan emosinya rendah. Mereka tak akan paham kita marah, bila hanya dengan cara diam. Menghadapi mereka, kita butuh energi lebih karena kita bisa jadi harus melakukan marah dengan bersuara, berintonasi, berekspresi, dan berbahasa tubuh yang skalanya tinggi, di antara 8 sampai 10. Dengan begitu, mereka akan paham bahwa kita sedang marah.

Artinya, bila kita marah kepada sesama orang yang cerdas intelegensi dan emosi, maka tekniknya berbeda saat kita marah kepada orang yang tak cerdas intelegensi dan emosi.

Jadi, istilah MTR itu, harus dengan skala 7-10. Sebaliknya, MTT cukup dengan skala 0 atau 1.

Indonesia penuh MTR

Mengapa istilah MTR dan MTT ini saya coba kemukakan? Pasalnya di Indonesia terkini sedang berlangsung "pertunjukkan drama" yang terus berkutat pada adegan-adegan MTR yang diaktingkan oleh para aktor-aktornya.


Lalu, siapa aktor-aktor yang menjadi pemeran utamanya? Mereka adalah para elite partai di parlemen, elite partai di pemerintahan, para buzzer, polisi, penunggang kepentingan, anarko, media massa, serta buruh dan mahasiswa yang merepresantiskan rakyat.

Masing-masing dari semua tokoh tersebut, kini semuanya hampir sama sedang memerankan tokoh yang mengusung misi dan tujuan berbeda, namun dengan akting yang sama, yaitu melakukan adegan sesuai skenario masing-masing dengan format MTR.

Sejatinya, mereka semua dapat memerankan tokoh yang mengusung format adegan MTT. Namun, sesuai tugas dan fungsinya, serta situasinya, terpaksa mereka semua sedang memainkan adegan MTR.

Sebagai aktor-aktor handal yang cerdas intelegensi dan emosi, sebenarnya bisa saja, mereka melakukan adegan dengan MTT, tapi kali ini, terpaksa mereka harus akting dengan MTR tanpa memikirkan rakyat "jelata" yang belum pandai berakting MTR dan MTT menjadi "korban" permainan yang pada dasarnya "tingkat tinggi atau tingkat dewa".

Sebagai contoh adegan drama dalam kasus UU Cipta Kerja. DPR dan Pemerintah sengaja melakukan adegan MTR yaitu dengan tidak mendengarkan suara rakyat hingga terus melahirkan UU yang sejak awal penuh kontroversi ini.

Tidak hanya memksakan kehendak, bahkan DPR dan Pemerintah pun telah menyiapkan diri dengan segenap timnya, seperti polisi, perangkat hukum, media massa yang memihak, serta influencer dan buzzer yang semuanya hampir dengan skala 8 hingga 10 yang dalam bahasa sederhananya, semua "nantangin rakyat".

Sementara buruh dan mahasiswa pun ikut-ikutan MTR dalam menyikapi penolakan UU Cipta Kerja yang dipaksakan karena DPR dan Pemerintah seolah tak menganggap rakyat, dengan cara demonstrasi.

Akhirnya, balas-membalas adegan kemarahan tingkat rendah pun terus terjadi. DPR dan Pemerintah, melalui semua divisi pendukungnya terus stabil dalam tingkat MTRnya. Contoh MTR yang dilakukan DPR dan Pemerintah adalah mengabaikan suara rakyat sebelum UU Cipta Kerja disahkan. Menyuruh dan menantang rakyat menempuh jalur hukum ke MK. Polisi menangkap rakyat yang dianggap melawan hukum. Para Menteri terus bersuara lantang dan keras membentengi diri coba terus mematahkan aspirasi rakyat. Terus membela diri dengan cara apa pun agar UU Cipta Kerja tetap mulus.

Apa yang kini sedang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah dengan berbagai cara mempertahankan UU Cipta Kerja, saya sebut sebagai kategori MTR karena terus memaksakan kehendaknya dengan membentengi diri dengan berbagai cara.

Akibat cara seperti demikian, tak menganggap aspirasi rakyat, maka rakyat pun membalas dengan cara MTR juga, yaitu demonstrasi. Bersuara lantang, intonasi tinggi dan ekspresi marah, serta bahasa tubuh melawan. Sebab, demonstran murni yang direpresentasikan oleh buruh dan mahasiswa, tak ubahnya sedang menghadapi orang yang tak cerdas intelegensi dan tak cerdas emosi. Maka dari itu, demonstrasi adalah analogi dari MTR yang skalanya 9 atau 10.

Dari berbagai literasi dan penelitian, orang yang sukses dalam hidupnya tak cukup hanya bermodal cerdas intelegensi, namun wajib pula senantiasa mengasah kecerdasan emosionalnya (emotional intellegence/EQ).

Bahkan ada penelitian yang mengungkap bahwa 90 persen orang yang berada di puncak kesuksesan "karir" nya, terbukti memiliki EQ yang tinggi.

Kendati EQ sulit diukur, pada umumnya orang yang cerdas emosi memiliki kepribadian yang disukai karena mampu mengelola emosinya dengan baik dan otomatis akan mampu membina hubungan baik dengan orang lain.

Pertanyaannya, kira-kira bagaimana hubungan kecerdasan intelegensi dan kecerdasan emosi para elite partai yang duduk di parlemen dan pemerintah, serta kecerdasan intelegensi dan kecerdasan emosi "rakyat" Indonesia terkini, bila dikaitkan dengan berbagai sengkarut, terutama menyoal UU Cipta Kerja.

Apakah pengelolaan kecerdasan intelegensi dan emosi ini digunakan oleh "mereka" semua dalam berbagai kasus sengkarut di NKRI?

Dalam kasus UU Cipta Kerja, yang hingga kini masih terus berlangsung demonstrasi penolakan di berbagai daerah Indonesia, bahkan kini juga diapungkan demonstrasi penolakan ini dengan istilah "pembangkangan sipil" oleh media massa, mendeskripsikan bahwa praktik dan aplikasi dari kecerdasan intelegensi dan emosi ini benar-benar dapat dilihat dengan kasat mata atau tanpa kasat mata, karena di dalamnya ada skenario-skenario cerdas yang menjadi arah.

Jadi, baik DPR, Pemerintah, Buruh, dan Mahasiswa, kini semuanya sedang memerankan tokoh yang dialognya wajib dimainkan dengan cara MTR didukung oleh para pemeran pembantu yang juga memainkan adegan MTR seperti para polisi, penyusup dalam aksi demonstrasi, media massa pendukung A dan B, serta para influencer dan buzzer.

Andai DPR dan Pemerintah melakukan MTT, yakin mereka tanpa perlu menanggapi berbagai pihak dan rakyat, langsung mengesahkan UU Cipta Kerja, Presiden langsung tanda tangan, polisi langsung tangkapi rakyat yang membangkang dan abaikan demokrasi.

Namun, yang pasti, bila kita terpaksa harus Marah Tingkat Rendah kepada seseorang, karena orang itu memang bodoh, tak cerdas intelegensi, tak cerdas emosi, dan tak berpendidikan, tetap harus melihat situasi, kondisi, dan memikirkan akibatnya.

Sebaliknya, saat kita harus Marah Tingkat Rendah, dengan teriak-teriak, anarki, dan sikap kasar lainnya kepada orang yang cerdas intelegensi dan cerdas emosi, maka kita hanya akan dipermainkan oleh orang itu. Sebab, orang itu sejatinya sedang menguji kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun