"Aku tidak tahu apakah petunjukku dapat menolongmu atau tidak. Semua tergantung keberuntunganmu,"kata sang Tabib.
"Apapun syaratnya akan aku penuhi. Aku ingin kembali sehat seperti semula,"bujuk Pak Tahang.
     "Baiklah. Namun syaratnya cukup berat. Setiap ada putrimu yang berulang tahun yang ke-18, mintalah dia untuk memotong lengannya. Biarkan darahnya penuhi kolam ikanmu. Mandilah di sana dengan air darah pengorbanan putrimu, niscaya kau akan sembuh dan terbebas dari kutukan ini,"jelas sang Tabib.
Mendengar petunjuk yang demikian berat, Pak Tahang bergidik dan semakin risau. Bagaimana bisa dia mengorbankan anak-anaknya yang demikian dicintainya? Lagipula apakah para putrinya bersedia berkorban sedemikian besar untuk ayahnya?
Beberapa tahun berlalu, tibalah hari putri pertamanya yang bernama Tarum berulang tahun yang kedelapan belas. Dengan berat hati, Pak Tahang bertanya pada putrinya itu,"Putriku, maukah kau berkorban untuk kesembuhan ayah? Ayah sudah lama menderita dengan sakit ini."
"Maafkan aku, Ayah! Aku tidak sanggup memenuhi permintaan Ayah. Lagipula, saat ini aku sudah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah. Apa jadinya jika aku harus cacat, kekasihku mungkin akan meninggalkan diriku," jawab Tarum penuh kesedihan. Sang putri pertama pun menolak permohonan ayahnya itu.
Pada tahun berikutnya, putri kedua yang bernama Tari pun berulang tahun yang kedelapan belas. Pak Tahang menanyakan hal yang sama,"Putriku, maukah kau berkorban untuk kesembuhan ayah ?"
"Maafkan aku, Ayah! Tari tidak dapat memenuhi permintaan Ayah. Tari harus bekerja menenun kain. Bagaimana bisa Tari menyelesaikan pekerjaan hanya dengan satu tangan?"tolak Tari dengan berlinang air mata. Sang putri kedua juga menolak permohonan ayahnya tersebut.
Kini harapan Pak Tahang hanya bertumpu pada putri ketiga. Saat Putri Tawas berulang tahun yang kedelapan belas, Pak Tahang menanyakan dengan nada yang sudah putus asa,"Anakku, maukah kau berkorban demi ayah ?"
"Aku bersedia, Ayah. Aku sudah lama menunggu tibanya hari ini. Aku sangat menginginkan Ayah bisa sembuh dan mengakhiri penderitaan ini. Aku sangat sedih melihat ayah menahan sakit demikian lamanya,"jawab Tawas dengan tegas. Sang Putri ketiga tak menunjukkan keraguan sedikitpun.
Pak Tahang tak kuasa menahan tangisnya. Ia begitu terharu dengan keputusan dan pengorbanan Tawas. Paras wajahnya boleh buruk rupa, namun hatinya indah cemerlang bagai malaikat surga.