Mohon tunggu...
TONI PRATAMA
TONI PRATAMA Mohon Tunggu... Administrasi - Kepala Bagian Perencanaan dan Keuangan Sekretariat Daerah Bangka Selatan

Saya mulai fokus menulis sejak tahun 2023 dengan menerbitkan 2 buku solo dan belasan buku antologi. Salah satu karya saya berupa novel diterbitkan penerbit Bhuana Ilmu Populer (BIP) Gramedia Group. Prestasi yang pernah saya raih yaitu juara 1 lomba menulis cerita rakyat yang diselenggarakan Dinas Perpustakaan dan Arsip Bangka Belitung tahun 2023. Menulis dan membaca tentu menjadi kegiatanku saat waktu luang. Semoga bisa terus berkarya, karena ada kalimat yang sangat menginspirasiku: JIKA KAMU INGIN MELIHAT DUNIA MAKA MEMBACALAH, JIKA KAMU INGIN DILIHAT DUNIA MAKA MENULISLAH!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku dan Tri

12 Mei 2024   18:00 Diperbarui: 12 Mei 2024   18:01 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Aku dan Tri

"Ayolah, Tama! Ikut aku ke Amerika!" mohon si Tri dengan muka yang sangat memelas.

"Aku harus pulang ke kampung, Tri," jawab aku dengan lirih.

"Kamu itu bagai jeruk manis, masa ditaruh di bawah sumur? Dengan segala potensimu, kamu bisa sukses di luar sana," Tri masih mencoba membujukku.

"Aku tetap harus pulang ke Toboali. Ibuku membutuhkanku," tegasku walaupun hatiku juga terluka.

Tri memelukku sambil menangis sedu sedan. Baru kali ini aku melihat sahabatku itu menangis demikian heboh. Ia benar-benar menangis. Sumpah!


Aku dan Tri sudah berteman sejak kecil. Rumah kami di kampung juga berjarak cukup dekat. Tinggal bersepeda 2 menit sudah sampai. Rumah Tri terbilang mewah karena orang tuanya memiliki usaha perikanan yang cukup sukses. Saat rumah-rumah di desa kecil kami belum memiliki televisi, rumah Tri sudah memutar saluran TV swasta yang banyak hiburan anak-anaknya. Setiap minggu pagi pukul 8.00, aku sudah bertandang di rumahnya untuk menonton serial kartun Doraemon yang mengocok perut.

Keluarga kami juga sangat akrab. Mamaku juga temannya Mama Tri. Kedua ibu muda itu sering berceloteh banyak hal yang saat itu kami tidak mampu mengerti. Tapi diskusi mereka bisa beberapa jam di dapur rumah Tri sampai akhirnya kue dan aneka penganan disajikan untuk kami semua. Tinggal di kampung pada dasarnya memang menyenangkan.

Hari minggu adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Selain bisa menonton TV sepuasnya di rumah Tri, kami juga bisa bermain seharian sampai sore. Entah berapa jenis permainan silih berganti yang kami mainkan bersama. Petak umpet, kejar-kejaran, kasti, hingga monopoli. Masa kanak-kanak kami begitu indah dihiasi gelak tawa yang membuat iri penghuni neraka. Tanpa dosa, tanpa beban. Pokoknya main saja pikirnya.

Soal prestasi di sekolah, aku dan Tri juga cukup bersaing. Kami berdua selalu masuk 3 besar. Hanya saja tidak pernah kami mengalahkan si Igna yang sepertinya ditakdirkan ranking 1 terus. Sedangkan aku dan Tri selalu berkutat di posisi 2 dan 3. Tapi kami tidak pernah mempermasalahkan soal ranking. Jika musim ulangan, kami selalu belajar bersama karena hanya rumah Tri yang ada listriknya di malam hari. Rumahku masih mengandalkan lampu teplok yang membuat lubang hidung menghitam oleh asapnya.

Saat liburan semester tiba, kami juga menghabiskan waktu berminggu-minggu dengan bermain sepuas hati. Pernah juga aku diajak orang tuanya Tri untuk berlibur ke Jakarta dengan kapal milik papanya. Aku senang bukan kepalang bisa main ke ibukota negara yang selama ini cuma dilihat di layar TV. Anak kampung yang tiba-tiba main ke kota metropolitan tentu menjadi sebuah pengalaman yang seru bagiku.

"Om, itu rumah tinggi sekali! Pasti tangganya banyak, ya? Capek juga kalau mesti naik sampai ke atas," celoteh aku saat melihat gedung pencakar langit.

"Ohh..., gedung itu sudah memakai tangga otomatis. Namanya lift! Jadi tidak bakal capek kok," jelas papanya Tri.

Malunya diriku!

Singkat cerita, aku dan Tri akhirnya melanjutkan studi di kota yang sama, Jakarta. Aku mengambil jurusan yang murah meriah, sedangkan Tri memilih studi yang lebih mentereng. Selama kuliah pun, aku tinggal bersama keluarga Tri yang sudah migrasi sekeluarga ke Jakarta. Ibuku menitipkan aku pada keluarganya selama mengenyam pendidikan di perantauan. Aku sudah dianggap seperti anak sendiri oleh keluarga Tri.

Selama 4 tahun aku tinggal bersama keluarga sahabat sejatiku itu di kawasan Kalideres, Jakarta Barat. Cukup jauh memang dari lokasi kampusku. Selama itu, sudah tidak terhitung kalinya aku ditraktir Tri makan-makan di mal. Uang bulanan kiriman orang tuaku tidak memungkinkan aku nongkrong dan jajan di tempat yang elit. Tapi Tri selalu memaksaku untuk menemaninya hang out. Bahkan tak jarang aku diajak nonton di bioskop yang kursinya lebih mewah daripada kursi di rumahku. Aku selalu kedinginan dan tidak konsentrasi menikmati film yang diputar. Dasar anak kampung sepertiku memang sulit beradaptasi dengan segala kemewahan kalangan atas.

Hingga tibalah hari perpisahan itu. Setamat studi, Tri akan pergi ke Amerika mengikuti jejak kakaknya yang sudah berangkat duluan ke Negeri Paman Sam itu. Kehidupan yang jauh lebih layak tentu sudah terpampang nyata. Berkarir di negara maju seperti Amerika tentu menjadi impian banyak orang. Tapi aku? Aku harus pulang ke kampungku dan membangun hidupku sendiri.

Hidup bukanlah perlombaan, apalagi perlombaan materi. Aku doakan selalu kebahagiaan dan kesuksesan untuk sahabatku tercinta yang sudah jauh di seberang samudera. Namun terlebih lagi, aku juga berhak bahagia dengan hidupku saat ini. Sampai jumpa lagi, Tri, sahabatku sepanjang masa!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun