"Om, itu rumah tinggi sekali! Pasti tangganya banyak, ya? Capek juga kalau mesti naik sampai ke atas," celoteh aku saat melihat gedung pencakar langit.
"Ohh..., gedung itu sudah memakai tangga otomatis. Namanya lift! Jadi tidak bakal capek kok," jelas papanya Tri.
Malunya diriku!
Singkat cerita, aku dan Tri akhirnya melanjutkan studi di kota yang sama, Jakarta. Aku mengambil jurusan yang murah meriah, sedangkan Tri memilih studi yang lebih mentereng. Selama kuliah pun, aku tinggal bersama keluarga Tri yang sudah migrasi sekeluarga ke Jakarta. Ibuku menitipkan aku pada keluarganya selama mengenyam pendidikan di perantauan. Aku sudah dianggap seperti anak sendiri oleh keluarga Tri.
Selama 4 tahun aku tinggal bersama keluarga sahabat sejatiku itu di kawasan Kalideres, Jakarta Barat. Cukup jauh memang dari lokasi kampusku. Selama itu, sudah tidak terhitung kalinya aku ditraktir Tri makan-makan di mal. Uang bulanan kiriman orang tuaku tidak memungkinkan aku nongkrong dan jajan di tempat yang elit. Tapi Tri selalu memaksaku untuk menemaninya hang out. Bahkan tak jarang aku diajak nonton di bioskop yang kursinya lebih mewah daripada kursi di rumahku. Aku selalu kedinginan dan tidak konsentrasi menikmati film yang diputar. Dasar anak kampung sepertiku memang sulit beradaptasi dengan segala kemewahan kalangan atas.
Hingga tibalah hari perpisahan itu. Setamat studi, Tri akan pergi ke Amerika mengikuti jejak kakaknya yang sudah berangkat duluan ke Negeri Paman Sam itu. Kehidupan yang jauh lebih layak tentu sudah terpampang nyata. Berkarir di negara maju seperti Amerika tentu menjadi impian banyak orang. Tapi aku? Aku harus pulang ke kampungku dan membangun hidupku sendiri.
Hidup bukanlah perlombaan, apalagi perlombaan materi. Aku doakan selalu kebahagiaan dan kesuksesan untuk sahabatku tercinta yang sudah jauh di seberang samudera. Namun terlebih lagi, aku juga berhak bahagia dengan hidupku saat ini. Sampai jumpa lagi, Tri, sahabatku sepanjang masa!