"Bang, aku pamit," hanya itu yang dia katakana dengan terbata-bata pada suaminya yang masih membisu.
Tiada satu kata pun jawaban dari mulut suaminya itu. Ia dibiarkan pergi bersama anak dalam pelukannya.
Sepanjang jalan luka batinnya semakin menganga. Seorang tukang sayur keliling memang mana pantas menjadi menantu keluarga terpandang yang memiliki toko emas ternama. Kisah cinta dengan "sang pangeran" di kehidupan nyata, tentulah tidak seindah kisah Cinderalla. Rumah tangga yang baru seumur jagung harus roboh sekejab oleh badai kasta dan perselingkuhan.
Orang bilang darah lebih kental daripada air, terbukti benar adanya. Walaupun sang suami yang melakukan kesalahan, namun "darah biru" tetaplah "darah biru", sedangkan menantu tetaplah "air comberan" yang nista.
"Ya Tuhan..! Apa yang terjadi, Ana ?" Â tetangganya yang baik hati menghampirinya.
"Rahman ketahuan selingkuh, Mbak! Dan aku yang diusir dari rumah!" jawabnya dalam isak.
"Ya Tuhan...! Yang sabar ya, Na! Sekarang mau jalan ke mana? Sudah mau gelap begini!" Mbak Atik ikut bingung.
"Tidak ada pilihan lain, Mbak, selain pulang ke rumah orang tuaku," suaranya terdengar lemah.
"Sini, mbak bawain tasnya! Mbak temanin kamu,ya," Mbak Atik mengambil alih tasnya.
"Terima kasih, Mbak!"
Mbak Atik menemaninya berjalan menembus malam menuju rumah orang tuanya yang berjarak sekitar 2 kilometer. Sepanjang jalan berbagai nasihat yang membesarkan hati terujar dari mulut orang baik itu. Namun sebagai sesama wanita, Mbak Atik tidak dapat membendung air mata keprihatinan terhadap nasib yang menimpa sahabatnya itu. Apalagi jika memandang wajah sang bayi yang masih polos tiada tahu apa yang sedang terjadi.