Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Masih tentang Tambahan Biaya Naik kelas ke VIP

18 Juni 2017   09:57 Diperbarui: 18 Juni 2017   12:37 34548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemarin siang saya diminta menanggapi suatu kasus di FB terkait beban tambahan biaya bagi pasien JKN yang naik kelas ke VIP. Ada yang mengeluhkan "kok besar sekali, kok begitu". Karena pertanyaan di FB itu, segera menyusul banyak pertanyaan masuk ke kotak pesan, maupun lewat WA. Ternyata masih banyak pertanyaan serupa. 

Terus terang saya sedih, padahal sejak awal Februari 2017, penjelasan tentang pertanyaan tersebut sudah kita sebarkan secara relatif luas. Harapannya tentu secara berjenjang sudah tersebar merata. Isinya berupa penjelasan tafsiran dan cara penerapan dari Permenkes 4/2017. Bahkan dilengkapi dengan contoh kasus dan perhitungannya. Penjelasan tentang filosofi dan penerapan lengkap juga sudah dituliskan di tulisan sebelumnya dan sebelumnya lagi.  

Mengapa masih banyak menjadi pertanyaan? Karena kemudian muncul banyak komentar yang mempertanyakan, bahkan ada yang menyatakan isi Permenkes itu membuat masalah, maka mari kita kupas pelan-pelan.

Awalnya dulu, saat JKN dimulai tahun 2014, klausul dasar adalah Peserta yang menggunakan sesuai hak kelas perawatannya, maka tidak ada iur biaya (cost-sharing). Bila menghendaki naik kelas ke yang lebih tinggi, baru terkena iur biaya. Besarannya adalah selisih antara tarif INA-CBGs di hak kelasnya, dengan tarif RS yang timbul pada kelas yang ditempati akibat naik kelas. 

Kondisi itu menimbulkan keluhan, karena dianggap ketika naik kelas, pasien seperti merasa tidak ada lagi jaminan. Beberapa pihak menuding RS sengaja memperbesar biaya ketika naik kelas. Padahal memang itu adalah biaya dari tarif RS yang sudah berjalan sebelum JKN dimulai. 

Memasuki bulan Juni 2014, terbit Permenkes 28/2014. Salah satu bagiannya mengatur bahwa:

Permenkes 28/2014
Permenkes 28/2014

Jadi, skenario kasus pertama: pasien dirawat di hak kelasnya yaitu kelas 2. Tarif INA-CBGs kelas 2 untuk diagnosis pasien itu adalah misalnya 4 juta rupiah. Maka RS akan menerima klaim sebesar 4 juta tersebut. Pasien tidak dikenakan iur biaya apa-apa. 

Pertanyaan menggelitiknya, apakah tarif INA-CBGs 4 juta yang diterima RS itu lebih rendah daripada tarif RS sebenarnya? Dalam beberapa kasus memang demikian. Sedangkan dalam beberapa kasus lain, tarif INA-CBGs itu lebih tinggi daripada tarif RS sebenarnya. Wah, kok begitu? Iya, karena itu memang tarif GRUP. Dalam satu Grup, yang terdiri dari beberapa diagnosis, tarifnya sama. Maka ada yang lebih, ada yang kurang. RS sama sekali tidak tahu tentang diagnosis ini masuk grup yang mana, atau dalam satu grup itu apa saja diagnosisnya. Itu rahasia dalam aplikasi yang dibuat oleh Kemenkes.  

Tetapi, apapun kondisinya, entah tarif INA-CBGs itu lebih dari atau kurang dari tarif RS sebenarnya, tetap saja RS hanya menerima klaim sebesar tarif INA-CBGs dan pasien tidak membayar apa-apa. 

Dalam kondisi itu pula, RS tidak memberikan rincian biaya kepada pasien. Mengapa? Karena memang apapun RS hanya menerima sebesar 4 juta tersebut. Perkara bagaimana RS mendayagunakan besaran klaim yang diterima, tentu itu menjadi strategi tersendiri dari RS, termasuk dalam menghadapi kenyataan: kadang tarif INA-CBGs itu kurang, kadang juga lebih dari tarif RS sebenarnya. Yang penting standar pelayanan terpenuhi. 

Contoh skenario kasus kedua: naik kelas dari kelas 2 ke kelas 1. Tarif INA-CBGs kelas 1 misalnya 5 juta. Maka pasien harus membayar sebesar selisih antara tarif INA-CBGs kelas 2 dan tarif INA-CBGs kelas 1 yaitu 5 juta dikurangi 4 juta sama dengan 1 juta rupiah. Berarti RS akan menerima sebesar tarif INa-CBGs kelas 2 ditambah selisih yang dibayar oleh pasien yaitu 4 juta ditambah 1 juta sama dengan 5 juta rupiah. 

Pertanyaan menggelitiknya sama: apakah selalu tarif INa-CBGs di kelas 1 sebesar 5 juta dalam contoh itu pasti LEBIH RENDAH daripada tarif RS yang sebenarnya? Jawabannya sama persis dengan skenario pertama: tidak juga. Ada saatnya tarif INA-CBGs kelas 1 itu sudah mencukupi tarif RS. Tapi tentu saja, banyak juga kasus lain dimana tarif kelas 1 itu masih di bawah tarif RS sebenarnya. Sekali lagi, itu tarif GRUP.

Tetapi sebagaimana dalam skenario pertama, dalam skenario kedua ini, pasien tetap membayar selisih tarif INA-CBGs antar kelas, lepas dari apakah sebenarnya tarif kelas 1 itu lebih dari atau kurang dari tarif RS sebenarnya.

Lagi-lagi, RS juga tidak bisa memberikan rincian biaya karena besaran yang dibayarkan pasien itu ditetapkan berdasarkan tarif INA-CBGs yang ditetapkan Menteri Kesehatan. Lagi-lagi pula, bagaimana caranya RS mendayagunakan besaran 5 juta yang diterima, itu adalah strategi tersendiri bagi RS. Yang penting standar pelayanan terpenuhi. Yang disampaikan ke pasien adalah cukup berupa informasi: sekian tarif INA-CBGs kelas 2, sekian tarif INA-CBGs kelas 1, sekian selisih yang harus dibayar pasien. 

Contoh skenario bila naik ke VIP sesuai Permenkes 28/2014. Misalnya hak kelas 2 tarif 4 juta, tarif INa-CBGs kelas 1 sebesar 5 juta, tarif RS di kelas VIP 10 juta. Maka pasien harus membayar sebesar selisih tarif INA-CBGs kelas 2 yang menjadi haknya dengan tarif INA-CBGs, berarti 10 juta dikurangi 4 juta sama dengan 6 juta. 

Dalam hal ini, RS harus memberikan rincian biaya sehingga tercapai 10 juta di VIP tersebut, karena tarif VIP 10 juta itu ditetapkan oleh RS sendiri, bukan oleh Menteri. Besaran tarif VIP itu tentu berbeda-beda untuk tiap diagnosis dan tiap pasen. Maka RS harus menunjukkan rinciannya. 

Lho kok ada yang katanya naik ke VIP tapi malah tidak tombok? Itu biasanya terjadi di RSUD. Kok begitu? Tarif RSUD itu ditetapkan dengan PERDA. Era sebelum JKN, tarifnya cenderung ditekan serendah mungkin. Sering terjadi, tidak benar-benar sesuai dengan biaya sesungguhnya. Akibatnya, ketika pasien naik ke VIP, ternyata tarif INa-CBGs hak kelasnya, lebih rendah daripada tarif VIP di RS tersebut. Jadilah pasien naik kelas, tapi tidak diminta membayar tambahan. Kondisi ini sering disalah artikan sehingga justru mendorong orang untuk "sudah naik ke VIP saja, murah kok tambahannya, malah sering tidak usah nambah". 

Bagaimana setelah Permenkes 4/2017?  

Permenkes 4/2017
Permenkes 4/2017
Permenkes 4/2017
Permenkes 4/2017
Mengulang Skenario pertama dan kedua yang dibahas di bagian sebelumnya, masih berlaku sama berdasarkan Permenkes 4/2017 ini. Di Hak kelas maupun naik kelas, berlaku seperti sudah dijelaskan sebelumnya. 

Bagaimana dengan skenario naik ke kelas VIP? 

Perubahan besarnya adalah, pada Skenario ke tiga di bagian sebelumnya, ketika pasien JKN naik ke kelas VIP, maka menjadi "tergantung berapa tarif VIP di RS" yang bersangkutan. Bisa sangat tinggi, bisa agak tinggi, bisa relatif tidak tinggi, bisa sangat bervariasi. Sebaliknya seperti disebutkan sebelumnya, bisa juga malah tidak tambah, saking rendahnya tarif VIP di RS yang bersangkutan. Kondisi seperti ini tidak sehat untuk diteruskan. 

Dengan Permenkes 4/2017, maka ada pengendalian. Yaitu, paling tinggi tarif di VIP adalah 75% lebih tinggi daripada tarif INA-CBGs kelas 1. Artinya tidak lagi "terserah RS maunya berapa". Bisa dan boleh saja kalau akan menetapkan 10% bahkan 0% misalnya. Sebaliknya hal ini juga untuk mencegah kecenderungan salah kaprah orang untuk "asal naik ke VIP saja wong nambahnya murah kok". 

Bagaimana penerapannya? Skema dan contoh berikut ini kiranya dapat memperjelas:

contoh-perhitungan-tambahan-biaya-naik-ke-vip-5945e69d93be2507873546f2.png
contoh-perhitungan-tambahan-biaya-naik-ke-vip-5945e69d93be2507873546f2.png

Bagaimana cara RS menetapkan besaran tambahan biaya itu? Tentu tidak boleh semena-mena atau asal saja. Harus ada dasar perhitungannya, yang juga termasuk dibahas bersama BPJSK setempat. Dasarnya adalah rata-rata selisih tarif INA-CBGs kelas 1 dengan tarif VIP di RS yang bersangkutan selama tahun 2016. Dengan demikian, ada dasarnya, ada analisisnya, ada alasannya. 

Tentu saja, dengan adanya pengendalian tarif VIP itu, mengharuskan RS menghitung ulang efisiensinya agar tetap dapat tercukupi dengan tambahan biaya yang dipatok maksimal 75% terhadap tarif INA-CBGs kelas 1 tersebut. 

Tambahan biaya itu memang harus dipatok sama untuk semua kasus, justru agar tidak menjadi liar lagi. Dengan besaran tambahan biaya yang sama, maka yang terjadi adalah subsidi silang antar kasus dan antar diagnosis. Kalau dilepas lagi boleh berbeda-beda antar kasus dan antar diagnosis, nanti bisa terjadi lagi rasa "semena-mena" seperti era sebelumnya. 

Tarif VIP berbasis tarif INA-CBGs dan tambahan biaya maksimal 75% itu menjadi "Tarif INA-CBGs VIP" bagi RS tersebut. Karena basisnya adalah tarif INA-CBGs kelas 1 yang ditetapkan oleh Menteri, maka besaran tarif INA-CBGs itu bukanlah murni ketetapan RS yang bersangkutan. Posisi RS adalah menerima tarif dari Menteri, hanya diberi ruang menentukan tambahan biayanya saja sesuai persentase terhadap tarif yang sudah ditetapkan oleh Menkes. Karena itu, RS tidak bisa memberikan rincian biaya penggunaan tarif INA-CBGs kelas VIP tersebut, sama dengan ketika menerapkan tarif INA-CBGs di kelas 1, 2 dan 3. Lagipula, besaran tambahan itu juga sama untuk semua kasus dan semua pasien (selengkapnya di tulisan sebelumnya). 

Selanjutnya untuk memudahkan pemahaman, bila pasien naik kelas ke VIP, maka besar yang harus dibayar pasiena adalah selisih antara Tarif INA-CBGs hak kelasnya dengan Tarif INA-CBGs VIP di RS tersebut. 

Berikut ini contoh penerapannya:

contoh-kasus-tambahan-biaya-5945e8f3c0cafd525b683ed3.png
contoh-kasus-tambahan-biaya-5945e8f3c0cafd525b683ed3.png

Tarif sesuai kelas perawatan maksudnya adalah tarif INA-CBGs kelas VIP di RS tersebut. Karena naik kelas, maka yang harus dibayar pasien adalah selisih antara tarif Hak Kelasnya dengan tarif INA-CBGs kelas VIP di RS tersebut seperti dalam gambar. 

Bagaimana kalau naik ke atas kelas VIP?

Permenkes 4/2017
Permenkes 4/2017

Bila naik ke kelas di atas kelas VIP, maka berlaku klausul umum bahwa pasien harus membayar selisih antara Tarif INa-CBGs hak kelasnya dengan tarif RS pada kelas yang ditempati. Karena sifatnya tarif RS adalah yang ditetapkan sendiri oleh RS, maka di akhir perawatan, RS berkewajiban memberikan rincian penggunaan biaya tersebut. 

Berarti enak naik sekalian ke atas kelas VIP ya? 

Menjadi aneh tentu saja, kalau tarif di VIP ternyata lebih tinggi daripada di atas VIP. Maka dalam menetapkan tambahan biaya naik kelas ke VIP itu tentu harus diperhitungkan benar-benar agar sinkron dengan tarif RS di atas kelas VIP. 

Tapi berarti enak RS dong, dapat tambahan biaya? 

Bisa enak kalau sudah berhasil melakukan efisiensi, kemudian juga variasi kasus di RS tersebut merata antara yang tarif INA-CBGs nya di bawah dan di atas tarif RS. Maka tidak bisa dipastikan bahwa RS enak dengan aturan tambahan biaya ini.

Satu hal yang penting adalah, RS harus menginformasikan di awal tentang ketentuan tambahan biaya ini kepada pasien. Dengan demikian sudah sama-sama paham, dan meminimalkan perbedaan pendapat di ujung episode perawatan. 

Demikian, semoga dapat memperjelas. 

#SalamKawalJKN

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun