Pertanyaan menggelitiknya sama: apakah selalu tarif INa-CBGs di kelas 1 sebesar 5 juta dalam contoh itu pasti LEBIH RENDAH daripada tarif RS yang sebenarnya? Jawabannya sama persis dengan skenario pertama: tidak juga. Ada saatnya tarif INA-CBGs kelas 1 itu sudah mencukupi tarif RS. Tapi tentu saja, banyak juga kasus lain dimana tarif kelas 1 itu masih di bawah tarif RS sebenarnya. Sekali lagi, itu tarif GRUP.
Tetapi sebagaimana dalam skenario pertama, dalam skenario kedua ini, pasien tetap membayar selisih tarif INA-CBGs antar kelas, lepas dari apakah sebenarnya tarif kelas 1 itu lebih dari atau kurang dari tarif RS sebenarnya.
Lagi-lagi, RS juga tidak bisa memberikan rincian biaya karena besaran yang dibayarkan pasien itu ditetapkan berdasarkan tarif INA-CBGs yang ditetapkan Menteri Kesehatan. Lagi-lagi pula, bagaimana caranya RS mendayagunakan besaran 5 juta yang diterima, itu adalah strategi tersendiri bagi RS. Yang penting standar pelayanan terpenuhi. Yang disampaikan ke pasien adalah cukup berupa informasi: sekian tarif INA-CBGs kelas 2, sekian tarif INA-CBGs kelas 1, sekian selisih yang harus dibayar pasien.Â
Contoh skenario bila naik ke VIP sesuai Permenkes 28/2014. Misalnya hak kelas 2 tarif 4 juta, tarif INa-CBGs kelas 1 sebesar 5 juta, tarif RS di kelas VIP 10 juta. Maka pasien harus membayar sebesar selisih tarif INA-CBGs kelas 2 yang menjadi haknya dengan tarif INA-CBGs, berarti 10 juta dikurangi 4 juta sama dengan 6 juta.Â
Dalam hal ini, RS harus memberikan rincian biaya sehingga tercapai 10 juta di VIP tersebut, karena tarif VIP 10 juta itu ditetapkan oleh RS sendiri, bukan oleh Menteri. Besaran tarif VIP itu tentu berbeda-beda untuk tiap diagnosis dan tiap pasen. Maka RS harus menunjukkan rinciannya.Â
Lho kok ada yang katanya naik ke VIP tapi malah tidak tombok? Itu biasanya terjadi di RSUD. Kok begitu? Tarif RSUD itu ditetapkan dengan PERDA. Era sebelum JKN, tarifnya cenderung ditekan serendah mungkin. Sering terjadi, tidak benar-benar sesuai dengan biaya sesungguhnya. Akibatnya, ketika pasien naik ke VIP, ternyata tarif INa-CBGs hak kelasnya, lebih rendah daripada tarif VIP di RS tersebut. Jadilah pasien naik kelas, tapi tidak diminta membayar tambahan. Kondisi ini sering disalah artikan sehingga justru mendorong orang untuk "sudah naik ke VIP saja, murah kok tambahannya, malah sering tidak usah nambah".Â
Bagaimana setelah Permenkes 4/2017? Â


Bagaimana dengan skenario naik ke kelas VIP?Â
Perubahan besarnya adalah, pada Skenario ke tiga di bagian sebelumnya, ketika pasien JKN naik ke kelas VIP, maka menjadi "tergantung berapa tarif VIP di RS" yang bersangkutan. Bisa sangat tinggi, bisa agak tinggi, bisa relatif tidak tinggi, bisa sangat bervariasi. Sebaliknya seperti disebutkan sebelumnya, bisa juga malah tidak tambah, saking rendahnya tarif VIP di RS yang bersangkutan. Kondisi seperti ini tidak sehat untuk diteruskan.Â
Dengan Permenkes 4/2017, maka ada pengendalian. Yaitu, paling tinggi tarif di VIP adalah 75% lebih tinggi daripada tarif INA-CBGs kelas 1. Artinya tidak lagi "terserah RS maunya berapa". Bisa dan boleh saja kalau akan menetapkan 10% bahkan 0% misalnya. Sebaliknya hal ini juga untuk mencegah kecenderungan salah kaprah orang untuk "asal naik ke VIP saja wong nambahnya murah kok".Â
Bagaimana penerapannya? Skema dan contoh berikut ini kiranya dapat memperjelas: