Mohon tunggu...
Toha Adog
Toha Adog Mohon Tunggu... -

www.tohaadog.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Borax dan Rasa Percaya

22 Maret 2012   08:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:37 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13324048081921666002

Di kampung saya terdapat sebuah rumah kuno yang besar dan angker. Pintunya kokoh dan temboknya berbata besar-besar. Rumah itu pernah dipakai sebagai lokasi acara uji nyali ketemu hantu, sebuah program yang biasa ditayangkan di salah satu teve di tengah malam. Program super tolol penuh kibul itu akan membayar satu setengah juta rupiah bagi peserta yang mampu bertahan dalam uji nyali itu. Uji nyali itu sendiri hanya berupa duduk ongkang-ongkang tanpa kerja apapun selama beberapa jam, tapi harus rela direkam kamera dalam gelap dan ditakut-takuti, yang biasanya hanya berupa suara, yang saya duga dilakukan oleh para kru program acara itu sendiri agar acara itu terlihat benar-benar berhantu dan seram dan tentu saja akhirnya laku dijejali oleh para pengiklan. Tai. Ketika kami, para begundal kampung, ikut mendaftar sebagai peserta, Si produser acara serta merta menolak. Ia tahu, para begundal kampung itu tak akan bisa ditakut-takuti di daerahnya sendiri. Para begundal kampung itu hanya menginginkan uang, tak lebih. Dan oleh karena itu para begundal kampung itu berpotensi mengancam jalannya kibul-mengibul dan Si Produser tak mau ambil resiko. Itulah gunanya produser. Ah, sial. Padahal kami sangat ingin satu setengah juta rupiah itu. Sabar! Jangan membakar Genset! *** Di Pennsylvania, Amerika, di mana warga Afro-Amerika hanya 9 persen dari populasi, 60 persen penghuni blok hukuman mati adalah berkulit hitam. Secara nasional, 40 persen penghuni blok hukuman mati di Amerika berkulit hitam, padahal warga kulit hitam hanya 12 persen dari total populasi. Mumia Abu Jamal pernah menulis hal itu bertahun lalu dari dalam kurungannya. Martin Luther King, Mumia Abu Jamal atau Malcom X berhutang pada politik rasisme atas semangat-semangat perlawanan mereka yang membara. Mereka menghunjamkan perlawanan mereka pada sistem bobrok yang rasis. Mereka melontarkan kata-kata penuh sambal pada kekuasaan yang rasis. Di Indonesia kita tidak melawan ras tertentu. Ketamakan dan kebobrokan telah melanda seluruh ras yang memegang kakuasaan. Oke, baiklah. Mungkin ada masalah rasis di sana-sini. Mungkin memang ada sedikit politik rasis. Tapi itu hanya sayup-sayup. Karena, camkan ini wahai sahabat dan kerabat, apabila menyangkut uang dan kekuasaan, seluruh Ras telah menjadi brengsek. Ini lebih seru. Jauh lebih seru dari uji nyali ketemu hantu. Ah sial. Hadiah satu setengah juta rupiah itu seharusnya bisa kami pakai untuk mentrakir bakso bagi seluruh kampung. *** Bakso adalah makanan istimewa. Tapi isu borax dan formalin, bagaimanapun juga, telah sedikit mengganggu kesukaan saya akan bakso. Kedua senyawa beracun keparat itu telah membuat saya selalu merasa cemas. Pada suatu ketika, di suatu siang yang panas, saya pernah makan bakso bersama seorang teman di sebuah warung bakso di kota Semarang. Warung itu sepi dan terasa kurang meyakinkan. Meja dan kursinya tertata kaku. Sebuah kalender kadaluwarsa bergambar pemandangan terpaku di tembok dengan posisi penuh rekayasa. Dan saya seakan bisa mengendus rencana dagang yang jahat dari balik dapurnya. Beberapa saat sebelumnya saya dan teman saya tersebut, yang bekerja sebagai sales buku, telah mendiskusikan tentang borax dan formalin dan segala racun tai yang telah diletakkan ke dalam makanan kita dan lalu kita konsumsi berhari-hari tanpa sadar hingga kanker menunggu seluruh orang di ujung jalan. Dagang yang kelewat batas. Profit yang membunuh orang lain. Seluruh dunia, tanpa kita sadari, telah terisi oleh gagasan-gagasan keji seperti itu. Jadi, hari itu di Semarang, saya memakan bakso dengan gentar. Bulatan bakso itu terlihat terlalu putih bagi saya. Tapi ternyata, teman saya tidak gentar sedikitpun. Ia memakan bakso itu dengan lahap. Dan setelah ia selesai memindahkan seluruh isi mangkok itu ke dalam perutnya, dan benar-benar ludes tanpa sisa, sambil mengelus perutnya yang mengembung, ia berkata lantang dan penuh rasa syukur: “Rasa Borax dan Formalinnya benar-benar lezat!” Nyam. *** Semua novel, di setiap jaman, tak peduli Microsoft sudah diciptakan atau belum, berpusat pada teka-teki diri. Apakah itu diri? Bagaimana diri bisa terpahami? Itulah pertanyaan fundamental novel, landasan dari novel, demikian setidaknya kata Si novelis, Milan Kundera. Jadi, dalam berbagai titik, menulis adalah sebuah usaha untuk mengenali diri sendiri dan berjuang untuk tidak menjadi gila. Namun seperti yang kita ketahui, beberapa penulis memang mengalami gila. Gila yang sesungguhnya. Benar-benar gila secara klinis. Beberapa kegilaan itu terjadi akibat tekanan ekonomi, alkohol, tekanan sosial, judi, asmara, atau karena justru dari pertanyaan diri yang tak kunjung usai. Terjebak selamanya dalam pertanyaan diri. Tapi kita boleh tak mempercayai Milan Kundera. Kita boleh tak mempercayai Pramoedya Ananta Toer. Kita boleh tak mempercayai Malcolm X. Martin Luther King. Atau Mumia Abu Jamal. Kita boleh tak mempercayai Gandi. Kita boleh tak mempercayai para guru mengaji atau produser acara hantu-hantuan di teve atau juga para pedagang bakso. Kita boleh tak mempercayai para begundal kampung. Dan terutama, kita sangat boleh untuk tak mempercayai para polisi, para menteri, lurah, presiden, dosen ilmu politik atau seni, dokter, pegawai pajak, Pemkot atau Pemda di manapun mereka berada. Kita boleh tak mempercayai siapapun. Jangan kuatir. “Rasa Borax dan Formalinnya benar-benar lezat!” Sabar! Jangan membakar Genset! – toha adog 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun