Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengejar Cinta Ibu

26 Desember 2023   13:51 Diperbarui: 26 Desember 2023   23:22 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.istockphoto.com

Tak ada yang pernah benar-benar tahu rasanya menjadi mereka, sejumlah lansia yang harus tinggal bersama dalam sebuah bangunan seraya membagikan alasan-alasan yang membawa mereka datang.

*

"Anne, ya? Perkenalkan, saya Bu Nastiti. Saya pengurus panti ini bersama dengan 7 pendamping yang merawat 68 orang pasien. Semoga kamu betah di sini ya, Ne."

Itu adalah sambutan pertama ketika aku menginjakkan kaki di tempat ini. Panti Wreda Tulus. Sebuah tempat yang memunculkan sejumlah rasa. Bu Nastiti mengingatkan agar aku tak kaget dengan perubahan-perubahan sikap para lansia di sana karena tak semua merasa bahagia. Tetap ada sudut yang menyimpan rasa rindu pada keluarga dan ingin kumpul bersama.

Sesungguhnya panti bukanlah sebuah tempat yang asing untukku. Aku pernah menghabiskan masa kecil hingga remaja bersama ratusan anak yang yang sama-sama kurang beruntung di sebuah panti asuhan. Sebuah beasiswa membawaku keluar panti dan tinggal di asrama. Sebenarnya apa bedanya? Sama-sama hidup mandiri dan tanpa orang tua.


Mimpi merawat orang tua sudah ada sejak aku kecil, walaupun aku sendiri tak pernah mengenal siapa mereka. Namun, aku selalu berpikir, Tuhan itu adil, bukan hanya anak-anak yang ditelantarkan orang tua, melainkan tak sedikit pula orang tua yang ditelantarkan buah hatinya.

Hal itu yang membuat niat ini tumbuh, sebuah keinginan untuk menjaga para orang tua yang kurang beruntung di panti wreda ini.

Bu Nastiti memperkenalkanku dengan beberapa orang pendamping. Galuh salah satunya. Dan ia yang akhirnya menjadi teman sekamarku.

Tak semua pasien dijamin oleh keluarga mereka, ada pula pasien yang ditinggalkan di sini begitu saja.

Bu Nani salah satu yang menarik perhatianku. Wajahnya ayu, kulitnya kuning langsat walau tidak kencang lagi. Sorot mata Bu Nani selalu sendu.

Bu Nani seorang pengidap demensia, ia diantar ke panti oleh seorang pria dan wanita yang mungkin adalah kakak atau adiknya. Dan itu sudah belasan tahun lalu. Sejak diantar, pihak panti tak bisa lagi menghubungi pihak keluarga karena nomor yang diberikan ternyata tak bisa dihubungi.

*

Pagi itu, semua pasien sudah duduk di ruang makan. Ada yang menikmati sarapan sambil berbincang satu dengan yang lain, ada pula yang hanya berdiam diri tanpa menyentuh sarapannya sama sekali.

"Salam kenal, Bu Nani. Saya Anne." sapaku.

Wanita itu hanya melirik sebentar kemudian mengalihkan pandangannya ke sisi lain.

"Hari ini kita sarapan bubur kacang hijau, Ibu mau, kan?" aku masih mencoba mengajaknya bicara, namun wanita itu masih abai padaku.

"Urusan bu Nani, serahkan saja pada Galuh, itu pawangnya," suara Beni, salah satu pendamping lain mengejutkanku. Ternyata ia tahu kesulitanku mengajak bu Nani berkomunikasi. 

Benar saja, tak lama kemudian Galuh muncul. Perempuan berambut sebahu itu langsung mengambil alih tugasku.

"Kamu urus yang lain ya, Ne. Biar bu Nani sama aku."

Aku hanya mengangguk dan membiarkan Galuh mendorong kursi roda wanita tua itu keluar ruang makan.

Mungkin, bu Nani tak nyaman diurus relawan lain. Soal kenyaman jelas hati yang punya peranan.

*

Di sebuah malam, aku punya kesempatan berbincang dengan Galuh. Gadis ceria itu kadang punya sisi pendiam di saat-saat tertentu.

"Kamu sudah berapa lama di sini, Luh?" tanyaku membuka percakapan.

"Kurang lebih 2 tahun."

"Betah?"

"Bagiku, ini sebuah kewajiban. Betah atau tak betah itu bukan lagi sebuah pilihan. Kau bagaimana?"

"Ya, 3 bulan pertama ini rasanya memang cukup berat, namun aku sudah memilih keputusan ini. Aku merasa seperti menemukan orang tuaku di sini,"

"Apa kau tak hidup bersama mereka?" keningnya berkerut.

"Aku besar di panti asuhan, aku tak kenal siapa ayah dan ibuku, Luh. Tapi aku tak pernah benci pada mereka, pasti mereka punya alasan menitipkanku di panti itu,"

Galuh terdiam sambil terus menatapku dengan sayu.

Sebenarnya aku kurang suka membahas tentang kehidupan masa kecilku di panti. Hal itu kadang terlihat seperti menjual kesedihan. Namun, aku benar-benar tak merasa sedih pernah hidup bersama orang-orang yang sebelumnya tak pernah kukenal. Sungguh aku tak sedih, hanya semakin usiaku bertambah besar, rasa ingin menemukan kembali kedua orang tua kandungku semakin membuncah.

"Kulihat, semua orang tua di sini senang dengan keberadaanmu, Ne. Kupikir, tempat ini seperti biro jodoh. Ada orang tua yang rindu dengan anaknya, dan ada anak yang merindukan orang tuanya." ujar Galuh dengan pandangan menerawang.

*

Aku sudah berada di enam bulan pertamaku membersamai para lansia dan mendengar semua cerita-cerita mereka tentang masa muda.

Sore itu, cuaca sedang gerimis. Bu Nani berada di depan kamar duduk di kursi rodanya. Tanpa ragu aku mendekat, mencoba sebuah peruntungan, mungkin kali ini ia bisa diajak bicara.

"Selamat sore, Bu Nani?"

"Iya, sore juga."

 Rasanya senang bukan kepalang, wanita itu akhirnya mau juga membalas salamku.

"Ibu mau baca buku atau mungkin bermain kartu?" tawarku.

Sebagai pengidap demensia, bu Nani memang harus memperbanyak aktivitas untuk melatih daya ingatnya secara berkala.

"Kamu punya buku apa? Oh, ya, siapa tadi namamu?"

"Anne, Bu. Di perpustakaan ada beberapa buku, ibu mau buku apa? Ada buku fiksi, resep-resep masakan, majalah wanita juga ada."

"Buku masakan saja, saya dulu suka masak."

Aku pun pamit sebentar untuk mengambilkan buku yang ia minta dan kurang dari 5 menit aku kembali menemuinya.

"Bu, ini bukunya." Kusodorkan sebuah buku berisi kumpulan resep-resep masakan.

"Apa saya minta dibawakan buku?"

Aku terdiam, demensia ini ternyata memang sudah benar-benar mempengaruhi daya ingat bu Nani. Tak kehabisan akal, kucoba menawarkan pilihan lain, mengajaknya bercerita. Kutanyakan apa makanan yang ia suka, nama-nama artis lawas yang mungkin pernah jadi idolanya dan banyak hal lainnya. Aku berusaha tak menyinggung perihal keluarganya. Ternyata, bu Nani lebih suka dengan aktivitas ini. Dari bibirnya mengalir deras sejumlah cerita tentang hal-hal yang kutanyakan. Dan yang semakin membuatku senang adalah di sela ceritanya, bu Nani sempat terkekeh menceritakan itu semua.

Dari caranya bertutur, sepertinya bu Nani bukan orang sembarangan. Kalimat demi kalimat tersusun dengan sangat baik. Bu Nani bisa membuat orang yang diajaknya bicara merasa nyaman mendengarkannya.

*

Waktu berlalu begitu cepat, genap satu tahun aku menjadi pendamping di panti ini. Aku senang saat para lansia mengingat nama dan memanggilku kala mereka butuh bantuan.

Walau begitu, di antara puluhan lansia, hanya Bu Nani yang masih sulit mengingat namaku. Tak hanya aku, seorang Galuh pun yang setiap hari merawatnya kerap terlupa namanya.

Setiap hari jadwal istirahat para pendamping harus bergantian. Siang itu, aku mendapat kesempatan makan bersama Galuh dan tugas kami sementara digantikan oleh pendamping yang lain. Selama kami menikmati makan siang, mata Galuh tak lepas dari sosok Bu Nani yang tengah berbincang dengan lansia lain di taman yang berseberangan dengan ruang makan.

"Luh, dari gaya bicaranya, sepertinya bu Nani itu dulu wanita karier, ya?"

"Iya, dulu ibu pegawai pemerintahan. Apa kamu pernah ngobrol dengan ibu?"

"Iya tempo hari, sepertinya saat bu Nastiti memintamu mengurus sesuatu. Bu Nani cerita banyak hal. Tapi aku tak membahas tentang keluarganya, kok. Aku takut dampaknya buruk."

"Lagi pula percuma, Ne, ibu tak ingat apapun tentang keluarganya." Air wajah Galuh berubah seketika.

"Kakak dan adiknya kurasa tega juga, ya."

"Yang mengantarnya ke sini bukan kakak dan adiknya, Ne. Itu suaminya dan perempuan yang membuat ibu harus berada di sini."

Sempat terkejut dengan apa yang baru saja kudengar. Namun sebagai orang yang lebih sering mengurus Bu Nani, Galuh mungkin lebih punya banyak kesempatan untuk mendapatkan cerita dari wanita itu.

"Bukan tanpa alasan aku mau jadi pendamping di panti ini, Ne. Belasan tahun aku dipisahkan dengan ibu oleh ayahku dan istri barunya."

Seketika tenggorokanku tercekat.

"Sejak ibu mengidap demensia, ayah memutuskan untuk menikah lagi dan membawaku tinggal bersamanya. Ibu kerap berhalusinasi, mudah marah dan tak jarang pula mengamuk, ayah takut hal-hal yang tak diinginkan terjadi padaku," lanjut Galuh kemudian menarik napas dalam-dalam.

Aku tak mampu mengeluarkan sepatah katapun untuk melontarkan pertanyaan. Galuh butuh waktu untuk melanjutkan kembali ceritanya.

"Jika bukan karena melihat berkas-berkas tentang panti ini, mungkin aku tak pernah tahu bahwa ayah dengan sengaja menitipkan ibuku di sini. Walau ibu tak pernah mengingatku, tapi itu semata-mata bukan keinginannya, kan? Hanya ini yang bisa kulakukan sebagai anak."

Tanpa sadar airmataku mengalir. Aku tak menyangka bisa menemukan kisah semacam ini di sini. Akhirnya aku tahu mengapa Galuh bertahan dengan sikap Ibu Nani.

"Ne, apa kamu mengenal orang tuamu?" Galuh melempar pertanyaan padaku.

Aku hanya menggeleng. Pengurus panti asuhan tempatku dibesarkan hanya bilang bahwa orang tuaku tak meninggalkan apa-apa, bahkan namaku pun diberikan oleh para pengurus panti.

"Nggak apa-apa, Ne. Dengan kamu memutuskan untuk berada di sini, kamu sudah membuktikan pada kedua orang tuamu bahwa tanpa mengenal mereka kamu tetap anak yang memiliki cinta pada orang tua. Mungkin juga salah satu para lansia di sini adalah orang tua kandungmu. Hidup ini misteri, Ne. Jalani saja dengan ikhlas, sama sepertiku yang tetap menjaga ibu walau ia tak pernah ingat keberadaanku."

Benar apa yang dikatakan Galuh malam itu, tempat ini seperti biro jodoh. Ada orang tua yang rindu dengan anaknya, dan ada anak yang merindukan orang tuanya. Tak ada satu pun alasan untuk menghentikan cinta pada orang tua. 

  

"Cinta ibu adalah bahan bakar yang memungkinkan manusia normal melakukan hal yang mustahil." -Marion C. Garretty
 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun