Rumpun melati semakin sedih hingga menangis tersedu-sedu. Â Kali Ini tangisannya terdengar oleh Pohon Mangga.
"Sudahlah Melati, itu bagian dari siklus hidup," ujar Pohon Mangga.
Rumpun Melati menegakkan cabangnya, menatap pohon mangga. Â Sudah lama sekali pohon mangga tak menyapanya.
"Tapi, itu menyakitkan," jawab Rumpun Melati sambil mengalihkankan pandangannya kembali pada serasah daun mangga yang semakin coklat dan lemah.
"Tak apa putri. Tak ada penderitaan yang sia sia," sekali lagi serasah daun mangga berujar pelan.
Setelah kepergian serasah daun mangga. Â Rumpun melati kini merasa sunyi lagi. Â Dia kesepian. Â Pohon Mangga dan Kemuning sering mengajaknya berbincang. Â Tetapi Rumpun Melati menanggapinya dengan biasa. Â Dia sungguh kehilangan serasah daun mangga.
"Ini harus dipangkas," kata tuan pemilik halaman rumah itu sambil menunjuk rumpun melati kepada seorang lelaki di suatu pagi.
"Rumpunnya sudah tak bagus, bunganya sudah berkurang." Ujarnya lagi.
Rumpun Melati mendengarnya, dia membayangkan sebuah kesakitan, sebuah penderitaan. Â Tapi tak lama. Â Rumpun Melati kemudian hanya melihat seleret sinar dari golok lelaki itu, menghantam tubuhnya. Mematah matahkan batangnya. Â Bunganya berhamburan berserakan di tanah
"Sakit!" Â Isak Rumpun Melati pelan dan tak ingat apa apa lagi.
----