"Embun dapat mempercepat proses kami kembali ke tanah putri cantik," lanjut serasah daun mangga.
"Namaku bukan putri!" Teriak Rumpun Melati.
"Ouh, maaf," jawab serasah daun mangga terkejut, tak menyangka Rumpun Melati akan meneriakinya lagi setelah perbincangan singkat tadi.
"Kamu cantik sekali dengan bunga putih dan wangi, itulah mengapa kupanggil putri." Â Serasah daun mangga menjelaskan dengan sabar.
Rumpun melati tak menjawab, perasaaannya antara senang dan sebal. Â Tetapi akhirnya dia menjawab dengan memberikan wanginya pada serasah daun mangga. Â Dia bahagia, sudah lama sekali tak ada yang memujinya. Â Semua hanya fokus pada Pohon Mangga dengan buahnya. Â Tuan pemilik rumah pun seperti itu. Â Sejak saat itu Rumpun Melati sering berbincang dengan serasah daun mangga. Â Ia tak kesepian lagi.Â
"Sakitkah?" Tanya Rumpun Melati di suatu sore yang lembab pada serasah daun mangga yang mulai membusuk.
"Bagaimana putri?" Bisik serasah daun mangga pelan. Â Tenaganya mulai berkurang. Proses dekomposisinya hampir sempurna.
"Sakitkah jatuh ke tanah dan membusuk?" Tanya Rumpun Melati. Kali ini lebih kencang.
"Oh itu? Tentu saja sakit. Bayangkan saja tubuhmu dicabik-cabik waktu," serasah daun mangga menjawab lemah.Â
Rumpun melati meringis, memandang serasah daun mangga dengan iba. Â Tak terasa air matanya berjatuhan menimpa serasah daun mangga.
"Terima kasih putri, kau menyempurnakan prosesku," serasah daun mangga berbisik lagi.