Menulis Adalah Antara Panggung Popularitas dan Panggilan Jiwa
Di era digital saat ini, banyak orang berlomba lomba menulis dengan satu tujuan: masuk headline!. Rasanya memang membanggakan ketika sebuah artikel terpampang di beranda utama, dibaca ribuan orang, lalu ramai dikomentari. Tetapi, pertanyaan penting yang patut kita renungkan a hidalah:" Apakah tujuan menulis semata mata untuk mengejar Headline?"
Sebab, bila target utama hanya headline, cepat atau lambat semangat itu akan luntur. Tidak ada seorang pun yang mampu bertahan lama bila motivasinya hanya sebatas sorotan sesaat.
Headline, Godaan yang Manis tapi Melelahkan
Saya tidak menafikan, headline bisa menjadi pemicu semangat, bahkan vitamin bagi penulis pemula.
Namun, mengejar headline tanpa henti ibarat berlari di atas treadmill. Kita terus bergerak, tapi seringkali tidak ke mana-mana. Ada rasa lelah, ada kekecewaan, bahkan kadang muncul rasa minder saat melihat tulisan orang lain lebih sering mendapat tempat di beranda.
Di titik itu, menulis berubah dari sesuatu yang menyenangkan menjadi sesuatu yang membebani. Kita mulai bertanya-tanya, “Mengapa tulisan saya tidak dianggap? Apakah tulisan saya kurang bagus? Apakah saya tidak pantas disebut penulis?”
Padahal, ukuran keberhasilan menulis bukan ditentukan oleh seberapa sering karya kita muncul di headline, melainkan oleh seberapa besar manfaat yang bisa diambil pembaca dari tulisan kita.
Menulis Adalah Perjalanan Panjang
Menulis bukanlah lomba sprint yang hanya butuh kecepatan. Menulis lebih mirip perjalanan mendaki gunung. Ada saatnya jalan menanjak terjal, ada saatnya kita berhenti sejenak untuk menarik napas, ada juga saat pemandangan indah menyambut di depan.
Dalam perjalanan panjang itu, yang paling dibutuhkan adalah daya tahan endurance. Dan daya tahan hanya bisa lahir bila menulis menjadi bagian dari diri kita, bukan sekadar alat untuk mencari popularitas.
Bila seseorang menulis hanya karena ingin dikenal, maka ketika popularitas itu tidak kunjung datang, ia akan berhenti. Tetapi bila seseorang menulis karena ia mencintai kata-kata, mencintai proses berbagi, dan ingin meninggalkan jejak kebaikan, maka ia akan terus menulis, meski tanpa sorak-sorai, meski tanpa headline.
Tulisan yang Menemukan Pembacanya
Saya percaya, setiap tulisan memiliki takdirnya sendiri. Ada tulisan yang segera viral, dibaca banyak orang. Ada pula tulisan yang seperti menunggu waktu, diam-diam tersimpan, lalu suatu saat ditemukan oleh seseorang yang benar-benar membutuhkannya.
Bukankah sering kita temui komentar pembaca yang berkata: “Tulisan ini datang di saat yang tepat. Saya sedang mengalami hal serupa, dan tulisan Anda memberi saya kekuatan.”
Inilah bukti bahwa tulisan bukan sekadar alat mencari perhatian. Ia adalah jembatan hati, penghubung antar jiwa, dan kadang menjadi obat bagi orang yang sedang terluka.
Sejarah yang Mengajarkan
Dalam sejarah, banyak karya besar yang awalnya tidak dipandang. Novel, puisi, bahkan teori besar dalam ilmu pengetahuan, kadang baru diakui bertahun-tahun setelah penulisnya wafat. Tetapi, apakah para penulis itu berhenti hanya karena tidak mendapat pengakuan instan? Tidak. Mereka menulis karena menulis adalah panggilan jiwa.
Maka, jika hari ini tulisan kita tidak muncul di headline, jangan kecil hati. Bisa jadi, tulisan itu sedang menunggu waktunya untuk menyentuh hati seseorang di luar sana.
Menulis dengan Hati, Bukan dengan Ambisi
Ambisi memang bisa membuat kita berlari cepat, tetapi cinta yang membuat kita bertahan lama. Bila kita menulis dengan ambisi, kita akan mudah kecewa. Tetapi bila kita menulis dengan cinta, kita akan menemukan kebahagiaan dalam setiap kalimat yang kita tuangkan.
Saya sendiri sering merasakan, tulisan yang lahir dari hati biasanya lebih mudah menyentuh pembaca. Tidak perlu bahasa yang muluk-muluk, tidak perlu diksi yang rumit, cukup tulus dan jujur.
Dan justru dari ketulusan itulah pembaca merasa dekat. Mereka tidak hanya membaca tulisan kita, tetapi juga merasakan kehadiran kita sebagai manusia yang berbagi pengalaman dan perasaan.
Pengalaman Pribadi di Kompasiana
Sebagai penulis di Kompasiana, saya sudah merasakan jatuh bangun dalam menulis. Ada tulisan saya yang masuk headline, ada pula yang sepi tanpa komentar. Dulu, ketika tulisan saya tidak dilirik, ada rasa kecewa. Tetapi lama-lama saya belajar: ternyata kepuasan menulis tidak bergantung pada sorotan semata.
Saya menemukan kebahagiaan yang lebih mendalam ketika ada pembaca yang berkata: “Tulisan Bapak membuat saya tersadar, tulisan Bapak menguatkan saya.” Itu lebih berharga daripada sekadar muncul di beranda.
Kompasiana bagi saya bukan hanya tempat menulis, tetapi juga ruang berbagi dan bertumbuh bersama. Saya menulis bukan karena headline, tetapi karena saya ingin meninggalkan jejak sederhana dalam bentuk kata-kata.
Pesan untuk Sahabat Penulis
Sahabat-sahabat penulis di mana pun berada, izinkan saya menyampaikan pesan sederhana: jangan biarkan headline menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan menulis. Headline itu indah, tapi bukan segalanya.
Yang lebih penting adalah bagaimana kita konsisten menulis, terus mengasah diri, dan menghadirkan manfaat bagi orang lain. Biarlah tulisan kita menjadi warisan kecil, yang suatu hari mungkin akan dikenang anak cucu, atau bahkan orang asing yang tanpa sengaja menemukannya.
Menulislah dengan cinta. Sebab cinta akan menguatkan kita di kala tidak ada yang membaca. Menulislah dengan hati. Sebab hati yang tulus akan menemukan hati lain yang sedang membutuhkan.
Menulis Warisan Abadi dalam Kata
Pada akhirnya, tak seorang pun akan mampu bertahan bila targetnya hanya headline. Popularitas itu fana, sorotan itu sementara. Tetapi kata-kata yang ditulis dengan hati, akan abadi. Ia akan melampaui headline, melampaui popularitas, bahkan melampaui usia kita sendiri.
Menulis bukan soal siapa yang paling sering muncul di beranda, melainkan siapa yang paling dalam meninggalkan jejak di hati pembaca.
Maka, mari terus menulis, bukan untuk headline, melainkan untuk kehidupan.
Headline hanyalah bonus, bukan tujuan. Tujuan sejati menulis adalah berbagi, menyentuh hati, dan meninggalkan warisan kebaikan melalui kata-kata.
Renungan kecil di pagi musim semi
Tjiptadinta Effendi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI