Bila seseorang menulis hanya karena ingin dikenal, maka ketika popularitas itu tidak kunjung datang, ia akan berhenti. Tetapi bila seseorang menulis karena ia mencintai kata-kata, mencintai proses berbagi, dan ingin meninggalkan jejak kebaikan, maka ia akan terus menulis, meski tanpa sorak-sorai, meski tanpa headline.
Tulisan yang Menemukan Pembacanya
Saya percaya, setiap tulisan memiliki takdirnya sendiri. Ada tulisan yang segera viral, dibaca banyak orang. Ada pula tulisan yang seperti menunggu waktu, diam-diam tersimpan, lalu suatu saat ditemukan oleh seseorang yang benar-benar membutuhkannya.
Bukankah sering kita temui komentar pembaca yang berkata: “Tulisan ini datang di saat yang tepat. Saya sedang mengalami hal serupa, dan tulisan Anda memberi saya kekuatan.”
Inilah bukti bahwa tulisan bukan sekadar alat mencari perhatian. Ia adalah jembatan hati, penghubung antar jiwa, dan kadang menjadi obat bagi orang yang sedang terluka.
Sejarah yang Mengajarkan
Dalam sejarah, banyak karya besar yang awalnya tidak dipandang. Novel, puisi, bahkan teori besar dalam ilmu pengetahuan, kadang baru diakui bertahun-tahun setelah penulisnya wafat. Tetapi, apakah para penulis itu berhenti hanya karena tidak mendapat pengakuan instan? Tidak. Mereka menulis karena menulis adalah panggilan jiwa.
Maka, jika hari ini tulisan kita tidak muncul di headline, jangan kecil hati. Bisa jadi, tulisan itu sedang menunggu waktunya untuk menyentuh hati seseorang di luar sana.
Menulis dengan Hati, Bukan dengan Ambisi
Ambisi memang bisa membuat kita berlari cepat, tetapi cinta yang membuat kita bertahan lama. Bila kita menulis dengan ambisi, kita akan mudah kecewa. Tetapi bila kita menulis dengan cinta, kita akan menemukan kebahagiaan dalam setiap kalimat yang kita tuangkan.
Saya sendiri sering merasakan, tulisan yang lahir dari hati biasanya lebih mudah menyentuh pembaca. Tidak perlu bahasa yang muluk-muluk, tidak perlu diksi yang rumit, cukup tulus dan jujur.