Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Merangkak dari Titik Nadir

26 September 2022   18:51 Diperbarui: 26 September 2022   18:57 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam semakin larut. Sementara hujan turun tiada henti hentinya. Disertai guntur yang mengelegar dalam gubuk, dimana sepasang anak manusia tinggal bersama putranya yang sedang terbaring sakit. Gubuknya sudah mulai digenangi air,yang meluap dari kali, yang persis berada dibawah gubuknya.

Laki laki yang kurus dengan mata yang cekung, akibat kurang tidur, mencoba menghalau puluhan kecoa yang merayap di tempat tidur satu satunya yang mereka miliki. Bukan hanya kecoa, tapi aneka ragam binatang merayap, mencoba menyelamatkan hidup mereka dari genangan air. 

"Anak kita demam, pa" kata istrinya lirih ,sambil mencoba mengompres kepala anaknya yang baru berusia 4 tahun ,dengan handuk yang dibasahkan. Satu satunya obat yang ada, hanya minyak kayu putih. Itupun hanya tersisa didasar botol,karena sering digunakan, tapi mereka tidak pernah cukup uang untuk membeli sebotol minyak kayu putih yang baru. Digosoknya, minyak kayu putih keperut dan kebetis anaknya, yang terbaring pucat pasi. 

"Ma, besok aku akan mencoba pinjam uang ke rumah Om Tedy, mudah mudahan terbuka hatinya, untuk meminjamkan uang untuk membawa anak kita berobat ke dokter" Isterinya, hanya mengangguk lemah. Suaranya bagaikan tersekat ditenggorokannya. Seingatnya, Om Tedy belum pernah sekalipun menjenguk mereka, walaupun isterinya setiap minggu memesan kelapa parut,untuk diantarkan ke rumahnya. Tapi ia tidak tega merontokan harapan suaminya, untuk meminjam uang pada Om Tedy, yang sesungguhnya masih kerabat dekat suaminya. Tapi perbedaan antara kaya dan miskin, telah menciptakan jarak yang tak bertepi antara mereka dan keluarga Om Tedy.

Malam itu keduanya hanya dapat memeluk putra mereka ,dengan linangan air mata dan doa. Memohonkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang,semoga  putra mereka cepat sembuh. Saking kelelahan ,akhirnya mereka tertidur sambil berpelukan ......

"Mama ....lapar  ma ..." tetiba suara lirih anak mereka,menyadarkan. "Pa, apa yang masih ada pada kita ,agar anak kita bisa makan?" pinta isterinya dengan suara penuh harap. Andre terdiam. Hatinya galau dan untuk kesekian kalinya,ia mengutuki dirinya ,yang tidak mampu mencari nafkah untuk anak isterinya. Tetiba ia ingat, masih ada sepotong ubi diatas rak. Ia menyalakan lilin dan memanaskan air dalam mangkuk  yang terbuat dari seng. Setelah air cukup panas,sepotong ubi yang tersisa di masukkan  kedalam mangkuk,agar hangat dan enak dimakan oleh putra mereka. 

Dan pasangan suami isteri ini sungguh tak kuasa menahan jatuhnya air mata mereka,menyaksikan putera mereka makan sepotong ubi tersebut dengan lahap ,saking laparnya. Perasaannya sangat galau, sempat tercetus dalam hatinya: "Ya Tuhan, biarlah saya yang menanggung semuanya. Jangan biarkan anak isteri saya ikut menanggung nya. "Tapi doanya, kalah dengan gelegar guntur yang masih terus menghujam ke bumi. Ia merasa tidak pernah menyakiti orang lain,mengapa mereka harus menanggung semuanya ini?

Andre bertekad dalam hatinya,pagi ini ia akan mendatangi rumah Om Tedy untuk meminjam uang ,agar dapat membawa putranya berobat kedokter. Dipandangnya secara bergantian, wajah putera mereka yang pucat pasi dan wajah isterinya yang tampak sangat lelah lahir batin. Kemudian memeluk mereka dengan penuh kasih sayang. Ia mengingatkan dirinya, bahwa meratapi nasib ,tidak akan mengubah apapun. Hari ini, di samping berusaha untuk dapat meminjam uang dari kerabat dekatnya Om Tedy, Andre juga sudah bertekad untuk kembali ikut  kerja bongkar muat barang. Walaupun cidera pada tulang rusuknya akibat jatuh dari bus, belum sembuh. Ia harus berhasil mencari uang, demi putera dan isteri tercinta.....

(bersambung )

Tjiptadinata Effendi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun