KIA dan Neta juga ikut dalam daftar sepuluh besar merek dengan penjualan paling rendah.
KIA, yang dulu sempat naik daun dengan model seperti Seltos dan Sonet, kini mencatat 23 unit saja pada September (turun dari 28 unit).
Masalah KIA bukan pada produk, melainkan persepsi. Banyak konsumen masih memandang KIA sebagai "merek Korea yang mahal tapi resale value rendah." Padahal secara fitur dan teknologi, mereka tak kalah dengan kompetitor Jepang.
Sementara itu, Neta, merek mobil listrik asal Tiongkok, juga mulai menurun. Dari 23 unit menjadi 17 unit.
Padahal, Neta membawa semangat baru lewat desain futuristik dan harga bersaing. Tapi tampaknya, kepercayaan masyarakat terhadap merek-merek baru dari China masih butuh waktu untuk tumbuh.
Scania dan Subaru, Dua Kutub Berbeda, Tapi Sama Sepi
Scania, yang lebih dikenal dengan kendaraan niaga dan bus besar, mencatat penjualan 32 unit, turun dari 38 unit.
Sementara Subaru, yang baru bangkit kembali di Indonesia, menjual 35 unit, anjlok dari 60 unit pada bulan sebelumnya.
Subaru sebenarnya punya penggemar fanatik, terutama di kalangan pecinta mobil AWD (all wheel drive). Namun setelah lama absen dari pasar Indonesia, mereka masih berjuang membangun kembali jaringan dan kepercayaan. Harga tinggi dan segmen sempit membuat pertumbuhan mereka lambat.
Mengapa Bisa Sepi?
Ada tiga alasan besar mengapa merek-merek ini kesulitan,
- Konsumen kini lebih rasional. Mobil seharga miliaran rupiah harus memberi lebih dari sekadar logo prestise. Banyak yang beralih ke merek Jepang atau China karena fitur lengkap dengan harga lebih bersahabat.
- Mobil Eropa sering dikaitkan dengan biaya perawatan mahal dan spare part sulit. Di kota besar mungkin aman, tapi di luar Jawa? Banyak yang berpikir dua kali.
- Tahun 2025 menandai pergeseran besar ke mobil listrik. Konsumen kini mulai tertarik dengan merek baru yang lebih adaptif seperti Wuling, BYD, atau bahkan Polytron. Merek lama yang terlalu lama "berpikir" akhirnya tertinggal.
Pasar Mobil Indonesia Sedang Berubah Cepat
Fenomena ini bukan tanda kehancuran merek-merek Eropa atau Korea, melainkan peringatan bahwa pasar Indonesia berubah lebih cepat dari yang mereka kira.
Dulu, prestise dan heritage cukup untuk menarik pembeli. Sekarang, konsumen mencari teknologi, efisiensi, dan kemudahan servis.