Sedang duduk di kafe, ponsel di tangan, membuka Instagram. Kamu scroll, scroll, scroll... dan melihat orang-orang berdebat di kolom komentar, pamer pencapaian, atau saling melempar sindiran halus.Â
Dunia modern memberi kita kebebasan untuk berbicara, tapi entah kenapa, kita makin sulit benar-benar berhubungan.Â
Ada sebuah buku tua, ditulis pada tahun 1936, ketika belum ada internet, bahkan televisi masih hitam putih, tapi anehnya, buku itu bisa menjawab kebingungan sosial kita hari ini.
Judulnya, How to Win Friends and Influence People karya Dale Carnegie. Buku ini tidak sekadar bestseller, ia adalah kitab komunikasi manusia.Â
Terjual lebih dari 30 juta eksemplar, diterjemahkan ke puluhan bahasa, dan hampir seabad kemudian, masih laris di toko buku modern seperti Gramedia. Keren, kan? Tapi apa sih yang membuat buku ini bertahan selama itu?
Dale Carnegie mengajarkan cara membangun hubungan hangat, memengaruhi orang lain dengan empati, dan sukses lewat komunikasi yang manusiawi. - Tiyarman Gulo
Dale Carnegie, Guru Komunikasi yang Tak Pernah Lulus dari Sekolah Kehidupan
Dale Carnegie bukan psikolog terkenal atau profesor universitas. Ia lahir di Missouri, hidup sederhana, bahkan sempat gagal jadi penulis. Tapi dari kegagalannya itu, ia belajar sesuatu yang jauh lebih penting, bagaimana memahami manusia.
Carnegie memperhatikan satu hal sederhana, bahwa orang-orang sukses di dunia bukan hanya yang pintar, tapi yang bisa bergaul.
Mereka tahu cara membuat orang lain merasa penting. Mereka bisa mendengarkan, bukan hanya berbicara.
Dengan pengalaman mengajar berbicara di depan umum, Carnegie menulis buku ini bukan untuk pamer teori, tapi untuk berbagi pengalaman nyata. Ia seperti bilang,
"Kamu bisa punya ide brilian, tapi kalau kamu tidak tahu cara membuat orang lain mendengarkan, ide itu akan mati di kepalamu sendiri."
Isi Buku, Bukan Soal Menang, Tapi Soal Memahami
Judulnya memang terdengar agresif, How to Win Friends and Influence People. Tapi isi bukunya jauh dari manipulatif. Carnegie tidak mengajarkan kita cara "menang" lewat trik atau tipu muslihat, melainkan cara berempati dan memahami orang lain.
Isi buku ini terbagi dalam empat bagian besar,
- Teknik dasar dalam berurusan dengan orang lain
- Cara membuat orang lain menyukai kamu
- Cara meyakinkan orang lain tanpa menimbulkan kebencian
- Menjadi pemimpin yang disukai dan dihormati
Sederhana, tapi luar biasa dalam. Misalnya, Carnegie menyarankan,
"Jangan mengkritik, menyalahkan, atau mengeluh."Â Kritik bisa membuat orang defensif. Sebaliknya, tunjukkan empati dan arahkan dengan lembut.
"Berikan pujian yang tulus."Â Orang lapar akan penghargaan, bukan pujian palsu.
"Dengarkan orang lain dengan sungguh-sungguh."Â Saat kamu mendengarkan dengan hati, orang lain merasa dihargai.
"Buat orang lain merasa penting, dan lakukan dengan tulus."Â Ini bukan basa-basi, tapi seni memperlakukan orang sebagai manusia.
Pelajaran Abadi yang Masih Relevan di Tahun 2025
Kita hidup di era yang katanya paling "terhubung" sepanjang sejarah. Tapi ironisnya, kita justru paling kesepian. Dulu orang duduk bersama di ruang tamu dan berbicara. Sekarang, kita duduk berdampingan tapi sibuk dengan layar masing-masing.
Prinsip Carnegie seperti obat bagi zaman ini. Coba bayangkan jika setiap orang di media sosial membaca satu bab buku ini.
Kita mungkin akan lebih banyak memahami daripada menghakimi. Lebih banyak mendengar daripada menyerang.
Misalnya, Saat seseorang mengunggah pendapat politik yang berbeda, daripada langsung berkomentar tajam, kita bisa mulai dengan,Â
"Menarik ya sudut pandang kamu, boleh cerita lebih dalam?"
Saat rekan kerja membuat kesalahan, alih-alih berkata,Â
"Kamu ceroboh,"Â kita bisa bilang, "Saya juga pernah ngalamin hal yang sama, mungkin kita bisa perbaiki bareng."
Kedengarannya sederhana, tapi inilah inti dari kecerdasan emosional. Dan jauh sebelum istilah itu populer, Carnegie sudah mengajarkannya.
Kritik, Antara Manipulasi dan Kemanusiaan
Beberapa orang menilai buku ini manipulatif.
"Ah, Carnegie cuma ngajarin cara menjilat supaya disukai," kata sebagian pembaca skeptis.
Tapi sebenarnya, How to Win Friends and Influence People bukan tentang memanfaatkan orang, melainkan membangun hubungan yang saling menguntungkan.
Carnegie tidak menyuruh kita berpura-pura. Ia menekankan kata "tulus" berkali-kali. Kalau kamu memuji seseorang tapi tidak benar-benar menghargainya, orang itu akan tahu.Â
Tapi kalau kamu melihat kebaikan kecil dan mengakuinya, itu bukan manipulasi, itu empati. Buku ini bukan pelajaran tentang politik sosial, tapi tentang kebaikan yang strategis.Â
Tentang bagaimana bersikap manusiawi tanpa kehilangan ketegasan. Tentang bagaimana berkomunikasi tanpa melukai.
Kenapa Buku Ini Masih Penting Dibaca Hari Ini
Zaman berubah. Tapi manusia, tidak begitu banyak. Kita masih ingin dimengerti, diterima, dan dihargai. Dan itu sebabnya, pesan Carnegie tetap relevan, bahkan di dunia yang serba digital.
Buku ini juga menjadi fondasi bagi banyak karya modern tentang komunikasi dan kepemimpinan, seperti Emotional Intelligence karya Daniel Goleman atau The 7 Habits of Highly Effective People karya Stephen Covey.Â
Tapi Carnegie tetap istimewa karena ia menulis dengan bahasa manusia, bukan bahasa psikologi rumit. Buat kamu yang sering merasa minder, sulit bergaul, atau takut bicara di depan umum, buku ini seperti teman yang memegang tanganmu dan berkata,
"Tenang, kamu bisa. Kamu tidak harus jadi orang lain untuk disukai. Cukup jadi versi terbaik dari dirimu sendiri."
Pelajaran yang Bisa Kamu Bawa Pulang
- Berhenti mengkritik, mulai memahami. Orang tidak akan berubah karena diserang, tapi karena merasa dimengerti.
- Dengarkan lebih banyak daripada bicara. Karena di balik setiap kata, ada kebutuhan untuk didengar.
- Tuluslah memuji. Dunia sudah cukup sinis. Sedikit ketulusan bisa jadi cahaya besar.
- Jangan berdebat untuk menang. Menang argumen sering berarti kalah teman.
- Bikin orang merasa penting. Karena semua orang, tanpa kecuali, ingin tahu bahwa mereka berarti.
Dari Kelas 1936 ke Dunia 2025, Jembatan yang Masih Kuat
Kalau Dale Carnegie hidup di era media sosial, mungkin dia akan bilang,
"Sebelum kamu posting sesuatu, tanyakan dulu, apakah ini akan membuat seseorang merasa lebih baik?"
Dan mungkin, dunia maya kita akan jadi tempat yang lebih manusiawi. Buku ini membuktikan satu hal, teknologi berubah, tapi hati manusia tidak pernah ketinggalan zaman.
Seni Memanusiakan Manusia
Pada akhirnya, How to Win Friends and Influence People bukan hanya tentang bagaimana disukai orang lain. Lebih dari itu, ini adalah panduan tentang bagaimana menjadi manusia yang lebih baik.
Kita bisa punya banyak follower, tapi tetap merasa sendirian. Kita bisa punya jabatan tinggi, tapi gagal memahami tim kita. Dan di tengah semua itu, pesan Carnegie berbisik lembut,
"Kebaikan itu bukan kelemahan. Itu kekuatan yang jarang dimiliki."
Maka, kalau kamu merasa hidup sosialmu mulai terasa dingin, bacalah buku ini. Bukan untuk memengaruhi orang lain, tapi untuk menemukan kembali koneksi yang hilang, dengan orang lain, dan dengan dirimu sendiri.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI