Kamu lagi jauh di negeri orang, tengah malam masih berjuang dengan tugas kuliah, lalu tiba-tiba ponselmu berdering tak henti. Saat akhirnya dibuka, berita buruk menyambut, rumah yang selama ini jadi tempat tumbuh, tempat tawa, tempat semua kenangan keluarga, dijarah orang tak dikenal. Barang-barang berharga hilang, suasana hancur, dan kamu bahkan tidak ada di sana untuk melindungi orang-orang yang kamu sayang.
Kira-kira apa yang akan kamu lakukan?
Mungkin sebagian dari kita bakal menjerit, ada yang langsung telepon keluarga, ada juga yang hanya bisa menangis sendirian di kamar. Dan buat Cinta Kuya, putri sulung Uya Kuya, langkah pertama yang ia ambil adalah curhat di media sosial. Ia menulis panjang lebar tentang rasa syok, cemas, hingga panik luar biasa yang ia alami.
Tapi alih-alih menuai simpati, postingannya justru jadi sasaran hujatan netizen.
Kenapa bisa begitu?
Curhat Cinta Kuya soal rumah dijarah justru panen hujatan netizen, jadi cermin rapuhnya empati dan budaya julid di media sosial. - Tiyarman Gulo
Kronologi Singkat, Dari Penjarahan ke Curhatan
Insiden ini terjadi pada 30 Agustus 2025. Rumah keluarga Uya Kuya dimasuki massa yang kemudian menjarah isi rumah. Video orang-orang asing masuk dengan wajah santai, mengambil barang-barang berharga, menyebar cepat di internet.
Cinta Kuya yang saat itu sedang menempuh studi di Amerika Serikat baru tahu setelah mendapat banyak telepon. Awalnya ia kira hanya berita biasa, tapi setelah melihat videonya sendiri, rasa syok langsung melanda.
Dalam tulisannya di media sosial, Cinta bercerita bagaimana ia menangis semalaman, mengalami serangan kecemasan (anxiety attack) hingga tubuhnya gemetar, sulit bernapas, rambut rontok, dan pikirannya penuh rasa cemas. Ia merasa hancur, tidak berguna, dan sangat jauh dari keluarga.
Tak hanya itu, ia juga mencurahkan keresahan tentang keselamatan hewan peliharaan mereka, kucing-kucing yang ia anggap bagian dari keluarga. Ada yang hilang, ada yang berhasil diselamatkan, bahkan ada pihak-pihak yang menghubunginya untuk menawarkan bantuan.
Bagi Cinta, menulis itu cara untuk menyalurkan beban hati. Tapi, bagi sebagian netizen, tulisan itu justru dianggap "salah alamat".
Gelombang Hujatan, Tiga Alasan Mengapa Cinta Diserang
Tulisan emosional Cinta yang seharusnya bisa memantik empati justru menuai kritik keras. Ada tiga alasan besar mengapa hal itu terjadi,
1. Fokus pada Diri Sendiri
Banyak netizen menilai curhatan Cinta lebih banyak soal penderitaan pribadi, tentang rasa panik, tangis, dan anxiety, tanpa menyinggung latar belakang kerusuhan yang menyebabkan rumah keluarganya dijarah.
Padahal publik masih panas membicarakan isu yang menyeret nama ayahnya, Uya Kuya, dalam polemik politik dan sosial. Alih-alih memberi refleksi atau tanggapan soal hal itu, Cinta justru fokus pada perasaan personal. Bagi netizen, kesan yang muncul, "nggak nyambung" dengan kondisi yang lebih besar.
2. Tulisan Berantakan, Banyak Typo
Di era media sosial, cara menyampaikan pesan sama pentingnya dengan isi. Unggahan Cinta yang penuh typo, tidak rapi, dan cenderung panjang berliku membuat banyak orang malas membaca.
Alih-alih tersentuh, beberapa netizen malah menjadikan tulisan itu bahan olok-olok. "Kalau serius mau didengar publik, ya minimal tulisannya rapi," begitu kira-kira komentar yang muncul.
3. Jarak Luar Negeri yang Jadi Bumerang
Fakta bahwa Cinta sedang berada di Amerika Serikat juga ikut memengaruhi cara orang memandang curhatannya.
Sebagian menilai, "Ya enak aja curhat dari jauh, padahal keluarganya yang di Indonesia yang benar-benar menghadapi situasi." Ada kesan bahwa postingan itu hanya menambah drama tanpa solusi nyata.
Fenomena Lebih Luas, Netizen, Empati, dan Budaya Julid
Kalau kita tarik ke konteks lebih besar, sebenarnya kasus Cinta Kuya ini bukan yang pertama. Banyak figur publik di Indonesia yang berniat "curhat" justru menuai serangan balik.
Kenapa begitu?
Ada beberapa pola yang bisa kita amati,
- Netizen Indonesia punya standar tinggi terhadap selebritas. Setiap kata, setiap postingan, seolah harus sempurna, mewakili semua perspektif, dan sesuai dengan ekspektasi publik. Begitu ada yang dianggap egois, melenceng, atau "nggak peka", langsung dihajar kritik.
- Budaya julid sudah mendarah daging. Di medsos, orang lebih cepat bereaksi daripada merenung. Simpati sering kalah cepat dengan sinisme.
- Empati selektif. Kalau curhatan dianggap relevan dengan penderitaan banyak orang, biasanya akan ramai didukung. Tapi kalau dianggap hanya soal pribadi, langsung dipandang "drama".
Di sini terlihat bahwa ruang digital kita masih rapuh dalam urusan empati. Alih-alih mencoba memahami, kita sering terburu-buru menghakimi.
Dari Perspektif Psikologi, Curhat Itu Manusiawi
Kalau kita mundur sejenak dari hiruk pikuk komentar netizen, apa yang dilakukan Cinta sebenarnya sangat manusiawi.
Ketika orang mengalami trauma, apalagi jarak jauh dari keluarga, reaksi yang muncul bisa macam-macam, menangis, marah, bingung, bahkan menulis curhatan panjang. Itu bagian dari mekanisme coping atau cara bertahan menghadapi stres.
Tulisan yang berantakan, penuh typo, justru tanda bahwa ia menulis dengan emosi meledak-ledak, bukan dengan kepala dingin. Dalam bahasa sederhana, ia lagi kalut, bukan lagi lomba karya tulis.
Masalahnya, begitu curhatan pribadi itu dilempar ke media sosial, audiensnya jadi publik, bukan lagi lingkaran kecil yang penuh pengertian.
Pelajaran Komunikasi Digital
Dari kasus ini kita bisa ambil pelajaran penting, di era medsos, isi pesan dan cara menyampaikannya sama-sama menentukan respons publik.
- Framing sangat krusial. Kalau ingin simpati, sebaiknya curhatan pribadi dibalut dengan sedikit konteks yang lebih luas.
- Bahasa yang rapi membantu. Meski emosi sedang tinggi, merapikan tulisan bisa membuat pesan lebih mudah diterima.
- Pilih platform dengan bijak. Tidak semua hal harus diumbar ke ruang publik. Ada kalanya cukup di lingkaran privat atau melalui pernyataan resmi.
Kita dan Budaya Menghakimi
Di balik semua ini, sebenarnya yang lebih perlu kita tanyakan bukan hanya soal Cinta, tapi juga soal kita sebagai netizen.
Kenapa kita begitu mudah menghujat seseorang yang sedang kesusahan? Apakah karena kita merasa punya hak menghakimi figur publik? Atau karena media sosial memang membuat kita lupa, bahwa di balik layar ada manusia yang rapuh?
Kalau kita mau jujur, sebagian besar dari kita mungkin akan melakukan hal yang mirip dengan Cinta kalau berada di posisinya. Bedanya, kita tidak punya jutaan mata netizen yang mengawasi.
Belajar Berempati, Meski Hanya Lewat Layar
Kasus Cinta Kuya ini bisa jadi cermin bagi kita semua. Buat figur publik, ini pelajaran bahwa setiap curhatan akan dipelintir publik sesuai kacamata mereka. Buat netizen, ini pengingat bahwa empati jangan sampai hilang hanya karena kita merasa berhak mengomentari.
Curhat adalah hal yang wajar. Rasa panik, cemas, dan takut kehilangan juga wajar. Yang tidak wajar adalah ketika kita kehilangan rasa kemanusiaan hanya karena tulisan seseorang tidak sesuai selera kita.
Di era digital, mungkin kita perlu sedikit menahan jari sebelum mengetik komentar. Karena kadang, empati sederhana lebih berarti daripada seribu hujatan.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI