Ketika orang mengalami trauma, apalagi jarak jauh dari keluarga, reaksi yang muncul bisa macam-macam, menangis, marah, bingung, bahkan menulis curhatan panjang. Itu bagian dari mekanisme coping atau cara bertahan menghadapi stres.
Tulisan yang berantakan, penuh typo, justru tanda bahwa ia menulis dengan emosi meledak-ledak, bukan dengan kepala dingin. Dalam bahasa sederhana, ia lagi kalut, bukan lagi lomba karya tulis.
Masalahnya, begitu curhatan pribadi itu dilempar ke media sosial, audiensnya jadi publik, bukan lagi lingkaran kecil yang penuh pengertian.
Pelajaran Komunikasi Digital
Dari kasus ini kita bisa ambil pelajaran penting, di era medsos, isi pesan dan cara menyampaikannya sama-sama menentukan respons publik.
- Framing sangat krusial. Kalau ingin simpati, sebaiknya curhatan pribadi dibalut dengan sedikit konteks yang lebih luas.
- Bahasa yang rapi membantu. Meski emosi sedang tinggi, merapikan tulisan bisa membuat pesan lebih mudah diterima.
- Pilih platform dengan bijak. Tidak semua hal harus diumbar ke ruang publik. Ada kalanya cukup di lingkaran privat atau melalui pernyataan resmi.
Kita dan Budaya Menghakimi
Di balik semua ini, sebenarnya yang lebih perlu kita tanyakan bukan hanya soal Cinta, tapi juga soal kita sebagai netizen.
Kenapa kita begitu mudah menghujat seseorang yang sedang kesusahan? Apakah karena kita merasa punya hak menghakimi figur publik? Atau karena media sosial memang membuat kita lupa, bahwa di balik layar ada manusia yang rapuh?
Kalau kita mau jujur, sebagian besar dari kita mungkin akan melakukan hal yang mirip dengan Cinta kalau berada di posisinya. Bedanya, kita tidak punya jutaan mata netizen yang mengawasi.
Belajar Berempati, Meski Hanya Lewat Layar
Kasus Cinta Kuya ini bisa jadi cermin bagi kita semua. Buat figur publik, ini pelajaran bahwa setiap curhatan akan dipelintir publik sesuai kacamata mereka. Buat netizen, ini pengingat bahwa empati jangan sampai hilang hanya karena kita merasa berhak mengomentari.
Curhat adalah hal yang wajar. Rasa panik, cemas, dan takut kehilangan juga wajar. Yang tidak wajar adalah ketika kita kehilangan rasa kemanusiaan hanya karena tulisan seseorang tidak sesuai selera kita.
Di era digital, mungkin kita perlu sedikit menahan jari sebelum mengetik komentar. Karena kadang, empati sederhana lebih berarti daripada seribu hujatan.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI