Banyak netizen menilai curhatan Cinta lebih banyak soal penderitaan pribadi, tentang rasa panik, tangis, dan anxiety, tanpa menyinggung latar belakang kerusuhan yang menyebabkan rumah keluarganya dijarah.
Padahal publik masih panas membicarakan isu yang menyeret nama ayahnya, Uya Kuya, dalam polemik politik dan sosial. Alih-alih memberi refleksi atau tanggapan soal hal itu, Cinta justru fokus pada perasaan personal. Bagi netizen, kesan yang muncul, "nggak nyambung" dengan kondisi yang lebih besar.
2. Tulisan Berantakan, Banyak Typo
Di era media sosial, cara menyampaikan pesan sama pentingnya dengan isi. Unggahan Cinta yang penuh typo, tidak rapi, dan cenderung panjang berliku membuat banyak orang malas membaca.
Alih-alih tersentuh, beberapa netizen malah menjadikan tulisan itu bahan olok-olok. "Kalau serius mau didengar publik, ya minimal tulisannya rapi," begitu kira-kira komentar yang muncul.
3. Jarak Luar Negeri yang Jadi Bumerang
Fakta bahwa Cinta sedang berada di Amerika Serikat juga ikut memengaruhi cara orang memandang curhatannya.
Sebagian menilai, "Ya enak aja curhat dari jauh, padahal keluarganya yang di Indonesia yang benar-benar menghadapi situasi." Ada kesan bahwa postingan itu hanya menambah drama tanpa solusi nyata.
Fenomena Lebih Luas, Netizen, Empati, dan Budaya Julid
Kalau kita tarik ke konteks lebih besar, sebenarnya kasus Cinta Kuya ini bukan yang pertama. Banyak figur publik di Indonesia yang berniat "curhat" justru menuai serangan balik.
Kenapa begitu?
Ada beberapa pola yang bisa kita amati,
- Netizen Indonesia punya standar tinggi terhadap selebritas. Setiap kata, setiap postingan, seolah harus sempurna, mewakili semua perspektif, dan sesuai dengan ekspektasi publik. Begitu ada yang dianggap egois, melenceng, atau "nggak peka", langsung dihajar kritik.
- Budaya julid sudah mendarah daging. Di medsos, orang lebih cepat bereaksi daripada merenung. Simpati sering kalah cepat dengan sinisme.
- Empati selektif. Kalau curhatan dianggap relevan dengan penderitaan banyak orang, biasanya akan ramai didukung. Tapi kalau dianggap hanya soal pribadi, langsung dipandang "drama".
Di sini terlihat bahwa ruang digital kita masih rapuh dalam urusan empati. Alih-alih mencoba memahami, kita sering terburu-buru menghakimi.
Dari Perspektif Psikologi, Curhat Itu Manusiawi
Kalau kita mundur sejenak dari hiruk pikuk komentar netizen, apa yang dilakukan Cinta sebenarnya sangat manusiawi.