Tuntutan itu pada dasarnya adalah jeritan panjang, jeritan dari korban pelanggaran HAM, jeritan mahasiswa yang ditangkap karena menyuarakan pendapat, jeritan pekerja yang merasa diabaikan, dan jeritan masyarakat yang muak melihat pejabat foya-foya.
Jalan Panjang Reformasi, Bukan Hanya di Gedung, Tapi di Jalanan
Sejarah Indonesia menunjukkan, perubahan besar tak pernah datang hanya dari ruang rapat. Reformasi 1998 lahir dari jalanan, dari suara rakyat yang tak mau lagi ditindas. Begitu juga sekarang.
Pemangkasan fasilitas DPR bisa jadi awal, tapi kalau rakyat berhenti mengawal, besar kemungkinan tuntutan lain tinggal janji. Ferry Irwandi pun mengingatkan, "Mari kita pantau dan kawal bersama."
Kata kuncinya ada di kebersamaan. Selama rakyat masih kompak, tuntutan itu akan tetap hidup.
Harapan di Tengah Ketidakpastian
Perjalanan 17+8 Tuntutan Rakyat masih panjang. Baru tiga poin yang dikabulkan, sementara puluhan lainnya masih menggantung. Apakah DPR akan menuntaskannya? Ataukah semua ini hanya strategi meredam gejolak?
Tak ada yang tahu pasti. Tapi satu hal jelas, perubahan tidak pernah datang dari diam.
Bagi rakyat, tugasnya adalah terus bersuara, terus mengawal, dan tak cepat puas dengan perubahan kosmetik. Bagi DPR, tantangannya adalah membuktikan bahwa mereka benar-benar wakil rakyat, bukan sekadar penikmat fasilitas negara.
Karena pada akhirnya, sejarah akan menilai. Apakah 17+8 Tuntutan Rakyat hanya akan tercatat sebagai "aksi jalanan biasa", atau menjadi titik balik reformasi baru di Indonesia.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI