Bagi sebagian orang, langkah ini bisa dianggap sebuah kemenangan moral. Bagaimana tidak, fasilitas DPR sering jadi bahan cibiran publik. Meme-meme tentang "wakil rakyat yang lebih sibuk jalan-jalan" bertebaran di media sosial. Jadi, ketika DPR akhirnya memangkas fasilitasnya, publik merasa, "Akhirnya!"
Tapi apakah cukup?
Bayangkan sebuah rumah yang bocor di mana-mana. Alih-alih memperbaiki struktur atapnya, pemilik rumah hanya mengecat dinding supaya terlihat rapi. Kira-kira seperti itulah pandangan sebagian aktivis terhadap langkah DPR.
Suara dari Aktivis, Masih Banyak yang Bolong
Konten kreator sekaligus aktivis, Ferry Irwandi, terang-terangan menyebut bahwa langkah DPR masih jauh dari cukup.
"Masih banyak yang belum terjawab," ujarnya melalui akun Instagram pribadinya. Ia menyebut soal tim investigasi independen, nasib kawan-kawan aktivis yang masih ditahan, penarikan TNI dari pengamanan sipil, hingga reformasi Polri yang sama sekali belum disentuh.
Pandangan Ferry ini mewakili keresahan banyak orang. Bahwa pemangkasan fasilitas memang penting, tapi akar masalah, seperti reformasi aparat dan penegakan hukum, justru tak tersentuh.
Rakyat vs Wakil Rakyat, Siapa yang Menang?
Di titik ini, pertanyaan besar muncul, apakah DPR benar-benar serius atau sekadar meredam gejolak sementara?
Bagi rakyat, perjuangan belum selesai. Tuntutan 17+8 adalah kompas yang harus terus dipegang. Pemangkasan tunjangan hanyalah sebagian kecil perjalanan.
Namun di sisi lain, DPR bisa saja merasa sudah "berkorban". Menghapus tunjangan rumah, menahan diri tidak plesiran ke luar negeri, memangkas biaya telepon, bagi mereka, ini langkah signifikan.
Perbedaan cara pandang inilah yang menimbulkan ketegangan. Rakyat merasa belum cukup, DPR merasa sudah berbuat.
Apa yang Sebenarnya Diharapkan Rakyat?
Kalau kita tilik lebih dalam, inti dari 17+8 tuntutan rakyat bukan sekadar soal uang. Rakyat ingin keadilan. Mereka ingin aparat yang transparan, DPR yang bekerja sungguh-sungguh, dan pemerintah yang benar-benar melayani, bukan memanfaatkan.