Pagi yang biasanya tenang di rumah keluarga kecil di Mlati, Sleman, tiba-tiba berubah menjadi kabar duka yang tak pernah dibayangkan. Yoyon Surono, seorang ayah sederhana, menerima kedatangan seorang tetangga yang membawa selembar KTP milik anaknya. Dengan wajah cemas, sang tetangga berkata lirih,Â
"Pak, ini KTP anak panjenengan. Katanya ada di rumah sakit."
Detik itu juga, hati Yoyon seperti diremas. Tangannya gemetar, pikirannya kalut. Ia tak tahu apa yang menimpa putra sulungnya, Rheza Sendy Pratama, mahasiswa semester V Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Amikom Yogyakarta. Yang ia tahu, anaknya sedang ikut aksi demonstrasi bersama mahasiswa lainnya.
Namun, sesampainya di rumah sakit, kenyataan pahit menampar tanpa ampun. Rheza sudah terbujur kaku. Tubuhnya dingin, wajahnya pucat, dan harapan yang dulu ia sematkan pada putranya pupus seketika. Air mata pun pecah. Yoyon tak sanggup berkata-kata.
Kisah pilu gugurnya Rheza, mahasiswa Amikom, dalam aksi demo Jogja. Keluarga berduka, kampus menuntut keadilan, dan harapan damai disuarakan. - Tiyarman Gulo
Kronologi yang Membekas di Ingatan
Tanggal 31 Agustus 2025 akan selalu diingat sebagai hari yang merenggut nyawa seorang anak muda penuh semangat. Rheza dikabarkan meninggal usai mengikuti aksi di depan Mapolda DIY.
Sehari sebelumnya, ia sempat pamit dengan sederhana, tak ada firasat buruk yang menyertai. Bagi banyak mahasiswa, turun ke jalan adalah bentuk kepedulian. Mereka ingin menyampaikan suara, mengkritisi kebijakan, dan mengingatkan penguasa bahwa ada rakyat yang sedang menanggung beban.
Namun, jalan yang seharusnya menjadi ruang ekspresi, berubah jadi jalur terakhir bagi langkah Rheza.
Luka Misterius yang Membuat Keluarga Bingung
Ketika jenazah dibawa pulang, keluarga semakin dibuat bingung. Hanya dua orang dari Dinas Kesehatan Polda yang mengantarkan, tanpa ada penjelasan rinci soal penyebab kematian. Barang-barang pribadi Rheza, dompet, motor, KTP, tak ikut kembali.
Lebih mengejutkan lagi, saat jenazah dimandikan, keluarga menemukan luka-luka yang tak wajar. Ada bekas pukulan di kepala, wajah penuh memar, rambut berantakan dengan darah kering yang menempel, bahkan jejak sepatu di perut.
"Kepalanya bocor, muka penuh darah, rambut berantakan. Ada bekas sabetan tongkat juga," tutur Yoyon dengan suara bergetar.Â
Ia juga menyebut bagian leher belakang atau punuk anaknya patah.
Bayangkan, seorang ayah yang selama ini hanya ingin anaknya kuliah dengan baik, pulang dengan gelar sarjana, kini dipaksa melihat tubuh sang anak penuh luka. Luka yang meninggalkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Antara Ikhlas dan Luka Batin
Meski dihantui rasa tidak terima, keluarga akhirnya memilih ikhlas. Mereka memutuskan tidak menuntut autopsi. Alasannya sederhana, mereka tak ingin memperpanjang duka.
"Kami pasrah. Otopsi kami tidak mau," kata Yoyon.
Namun, di balik kata "pasrah", jelas tersimpan luka batin. Tidak ada orang tua yang benar-benar ikhlas melihat anaknya pergi dengan cara seperti ini. Apalagi, penuh kejanggalan dan misteri.
Ikhlas bukan berarti lupa. Ikhlas bukan berarti diam. Kadang, ikhlas hanyalah cara untuk bertahan di tengah kenyataan yang terlalu berat.
Kampus Turut Berduka
Kabar kepergian Rheza mengguncang kampusnya. Universitas Amikom Yogyakarta kehilangan salah satu mahasiswa terbaiknya. Ahmad Fauzi, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, menyampaikan rasa duka mendalam sekaligus janji untuk menindaklanjuti kasus ini bersama kepolisian.
Bagi pihak kampus, kepergian seorang mahasiswa bukan sekadar kehilangan individu. Itu adalah tamparan keras bahwa ruang demokrasi masih menyimpan bahaya. Kampus pun merasa perlu memastikan, jangan sampai ada lagi mahasiswa yang pulang tinggal nama setelah menyuarakan pendapat.
Suara Teman dan BEM, Solidaritas yang Menggema
Di mata teman-temannya, Rheza bukan sekadar mahasiswa biasa. Ia dikenal sebagai sosok kritis, aktif dalam diskusi, dan berani menyampaikan pendapat. Ketua BEM Amikom, Alvito Afriansyah, bahkan menyebut bahwa Rheza sering mengkritisi kebijakan pemerintah.
Bagi BEM, tragedi ini bukan hanya soal kehilangan sahabat, tapi juga peringatan bahwa kebebasan berpendapat masih berisiko tinggi.
"Korban tertinggal setelah terjatuh naik motor dan terkena gas air mata," kata Alvito, mengutip informasi dari teman sekelas Rheza.
Di antara mahasiswa, suara solidaritas pun menggema. Mereka menuntut keadilan, bukan sekadar untuk Rheza, tapi juga untuk masa depan mahasiswa lain yang masih percaya bahwa suara mereka penting untuk negeri.
Pesan Sang Ayah, Demo Itu Harusnya Damai
Di tengah duka yang dalam, Yoyon menyampaikan pesan sederhana tapi penuh makna. Ia berharap kejadian ini tidak terulang. Baginya, aksi demonstrasi seharusnya damai. Aparat seharusnya mengedepankan kemanusiaan, bukan kekerasan.
"Harapannya demo itu damai, jangan main gebuk. Kasihan kalau orang yang nggak ngerti jadi korban," ucapnya.
Kalimat sederhana itu seperti tamparan. Bukankah tujuan aparat adalah menjaga? Bukankah tugas negara adalah melindungi warganya? Lalu mengapa seorang mahasiswa, yang seharusnya jadi harapan bangsa, justru pulang dalam keadaan tak bernyawa?
Tragedi yang Mengingatkan Kita Semua
Kisah Rheza mengingatkan kita pada banyak tragedi serupa yang pernah terjadi di Indonesia. Dari masa reformasi, hingga aksi-aksi mahasiswa beberapa tahun terakhir, selalu ada cerita duka.
Kematian mahasiswa di jalanan bukan sekadar angka statistik. Mereka adalah anak-anak muda yang punya mimpi, cita-cita, dan keluarga yang menanti kepulangan mereka. Setiap nyawa yang hilang adalah alarm bahwa ada yang salah dalam cara kita menjaga demokrasi.
Refleksi, Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Kisah Rheza bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang tanggung jawab sosial. Ada beberapa hal yang bisa kita renungkan,
- Demokrasi harus dijaga dengan kemanusiaan. Aksi massa adalah hak, dan keamanan adalah kewajiban negara.
- Keadilan harus ditegakkan. Bukan sekadar untuk mencari kambing hitam, tapi agar ada transparansi dan kepercayaan publik.
- Mahasiswa adalah harapan bangsa. Mereka seharusnya dilindungi, bukan dibungkam.
- Keluarga korban berhak mendapat jawaban. Diam bukanlah solusi, transparansi adalah kunci.
Mengingat Rheza, Harapan yang Gugur Terlalu Cepat
Di usianya yang baru 21 tahun, Rheza masih punya banyak mimpi. Ia mungkin ingin lulus kuliah, bekerja, membahagiakan orang tua, atau bahkan sekadar nongkrong dengan teman-temannya. Namun, semua itu kini tinggal kenangan.
Yang tersisa hanyalah doa, air mata, dan nama yang akan terus disebut dalam setiap cerita perjuangan mahasiswa. Rheza kini menjadi bagian dari catatan sejarah, meski dengan cara yang paling menyakitkan.
Penutup, Suara yang Tak Boleh Padam
Kisah ini adalah potret pahit tentang harga dari sebuah keberanian menyuarakan kebenaran. Tapi kita tidak boleh membiarkan suara itu padam.
Rheza mungkin telah pergi, tapi semangatnya tetap hidup di hati teman-teman, keluarganya, dan siapa pun yang masih percaya bahwa perubahan tidak boleh dibayar dengan nyawa.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI