Bahkan pada demonstrasi besar menolak undang-undang kontroversial beberapa tahun lalu, isu "penunggang asing" juga sempat beredar.
Apakah mungkin kali ini narasi itu benar? Bisa jadi. Dunia politik memang penuh intrik. Tapi, di sisi lain, apakah mungkin demo besar ini murni jeritan rakyat yang sudah lama muak dengan perilaku wakilnya di Senayan? Itu juga sangat masuk akal.
Suara Lapangan "Kami Bukan Boneka"
Kalau kita turun langsung ke lapangan, suasana demo jauh dari kesan "skenario besar". Misalnya, seorang mahasiswa Universitas Negeri Jakarta yang ikut aksi berkata:
"Kami turun bukan karena disuruh siapa-siapa. Kami capek lihat DPR selalu mikirin kantong sendiri. Uang kuliah makin mahal, tapi mereka malah nambah tunjangan."
Seorang buruh yang ikut demo menambahkan.
"Kalau dibilang ada dalang, mungkin dalang sebenarnya ya perut kosong ini. Hidup makin susah, gaji nggak naik-naik, tapi wakil rakyat pesta uang rakyat."
Sementara seorang pengemudi ojek online yang ikut turun jalan mengaku rela kehilangan order demi bersuara:
"Saya turun karena merasa nggak adil. Pajak naik, biaya hidup naik, tapi DPR malah enak-enakan. Masa iya suara kami dibilang digerakkan orang asing? Ini suara hati kok."
Kalimat-kalimat sederhana itu menunjukkan satu hal, yaitu keresahan nyata. Apakah keresahan ini bisa serta-merta dikesampingkan hanya dengan klaim "ada dalang asing"?
Antara Curiga dan Mendengar
Di titik ini, kita melihat dua realitas yang berbeda. Dari sisi elite, demo dianggap ada "tangan luar" yang bermain. Dari sisi rakyat, demo adalah jeritan yang muncul karena frustrasi.
Kalau dua realitas ini bertabrakan, maka yang sering kalah adalah suara rakyat. Sebab begitu ada narasi "ada dalang asing", fokus publik bergeser. Bukan lagi membicarakan kenapa rakyat demo, tapi siapa aktor asing yang dituding ikut campur.