"Kalau saya, saya orang enggak punya, saya ikuti saja, biar alam yang bekerja, alam lebih baik," ucap Pak Bagus dengan pasrah.Â
Kalimat ini menunjukkan bahwa ia siap menghadapi proses hukum, walau di satu sisi ia merasa tidak bersalah dan menyerahkan semuanya pada takdir. Pernyataan ini mungkin sedikit 'njawani' atau filosofis, khas orang Indonesia yang sering mengandalkan kekuatan alam atau takdir dalam menghadapi masalah.
Ketika Pak RT Merasa Terfitnah
Di sisi lain, Bapak Sujarwo, Ketua RT 01, merasa namanya dicemarkan. Ia tidak terima dituding ikut menerima uang Rp 6 juta dari perizinan pemasangan tiang internet tersebut. Bayangkan, tiba-tiba Anda dituduh menerima uang yang tidak pernah Anda pegang. Tentu saja itu bisa bikin panas hati dan merasa harga diri diinjak-injak. Apalagi, tuduhan itu datang dari orang terdekat di struktur pemerintahan lingkungan.
"Dia mengaku 'saya tidak salah, dan tidak melakukan fitnah' lah, gimana saya kan ditanyain sama tokoh dikira ikut menerima uang itu, padahal enggak," ungkap Sujarwo, menunjukkan kekecewaannya.Â
Perasaan dituduh dan dipercaya telah menerima uang gelap, padahal tidak, tentu sangat menyakitkan. Apalagi tuduhan itu sampai membuat ia 'ditanyain sama tokoh', yang artinya isu ini sudah menyebar luas di masyarakat. Hal ini bisa merusak reputasi dan kepercayaan warga terhadapnya sebagai Ketua RT.
Selain isu uang, Pak Sujarwo juga sempat menolak pemasangan tiang internet ini, salah satunya karena khawatir membahayakan warga. Kekhawatiran ini tentu beralasan. Tiang yang dipasang sembarangan atau tanpa prosedur yang jelas bisa menimbulkan risiko kecelakaan, gangguan estetika, atau bahkan masalah teknis lainnya di kemudian hari. Ini menunjukkan bahwa pertimbangan Pak RT bukan hanya soal uang, tapi juga keamanan dan ketertiban lingkungan.
Mediasi Gagal, Hukum Berjalan
Karena tidak menemukan titik temu, akhirnya Pak Sujarwo memutuskan untuk membawa masalah ini ke jalur hukum. Keduanya sudah sempat dimediasi oleh pihak kepolisian, namun hasilnya nihil. Mediasi, yang seharusnya bisa jadi jembatan perdamaian, rupanya tidak berhasil meluluhkan kekakuan hati kedua belah pihak.
Yang menarik, menurut Sujarwo, dalam mediasi itu Pak Bagus disebut mengelak dan mengaku tidak tahu menahu sudah menerima uang Rp 6 juta tersebut di rekeningnya. Ini seperti menambah bumbu drama dalam perseteruan ini. Jika memang benar ada uang masuk ke rekening tanpa sepengetahuan penerima, itu juga bisa jadi pertanyaan besar.
Saat ini, Pak Sujarwo masih menunggu surat delik aduan yang diajukannya ke polisi. Surat ini akan menentukan apakah perbuatan Pak Bagus termasuk unsur pidana atau tidak. Jika terbukti ada pelanggaran pidana, maka laporan akan dilanjutkan. Artinya, ini bukan lagi sekadar urusan warga, tapi sudah masuk ranah hukum yang serius.
Komunikasi Itu Kunci!
Kasus tiang internet di Warakas ini mengajarkan banyak hal. Pertama, niat baik saja tidak cukup. Dalam mengelola lingkungan masyarakat, transparansi dan komunikasi yang jelas antar pimpinan, apalagi menyangkut fasilitas publik dan uang, adalah harga mati. Mungkin niat Pak RW baik, ingin warga punya internet murah, tapi proses perizinan dan pengelolaan dananya haruslah diketahui dan disepakati bersama, terutama oleh Ketua RT dan warga.
Kedua, pentingnya menghargai reputasi dan nama baik seseorang. Tuduhan tanpa bukti yang jelas bisa berakibat fatal, merusak hubungan personal, bahkan menyeret ke ranah hukum. Pak RW mungkin tidak bermaksud mencemarkan nama baik, tapi perkataan yang ambigu atau tidak jelas bisa disalahartikan dan menimbulkan dendam.