Gara-gara sebuah tiang internet, hubungan antar Ketua RW dan Ketua RT bisa sampai ke kantor polisi? Di Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara, hal itu beneran kejadian! Satu pihak ngotot demi kesejahteraan warga dengan internet murah meriah, pihak lain merasa nama baiknya dicemarkan dan menuntut keadilan. Ini bukan sekadar drama sinetron, lho, ini kisah nyata yang bikin kita mikir. Seberapa penting sih tiang internet itu sampai bisa bikin geger se-RT/RW?Â
Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara, belakangan ini jadi sorotan. Bukan karena macetnya, bukan pula karena kuliner hitsnya, melainkan karena perseteruan antara dua pucuk pimpinan di lingkungan RW 01. Bapak R Bagus Kusumo Hardoyo sebagai Ketua RW, dan Bapak Sujarwo sebagai Ketua RT 01. Akar masalahnya sepele, tapi dampaknya bikin pusing, pemasangan tiang internet.
Konflik Ketua RW-RT Warakas dilaporkan polisi gegara tiang internet: RW ingin internet murah, RT tuding pencemaran nama baik & uang kompensasi. - Tiyarman Gulo
Niat Baik ala Pak RW, Internet Murah Meriah untuk Warga
Bapak Bagus Kusumo Hardoyo, sang Ketua RW 01, punya alasan kuat kenapa dia 'mengizinkan' tiang internet provider menancap di wilayahnya. Menurut penjelasannya saat ditemui Kompas.com di Jalan Gorontalo, alasannya satu, tawarannya menggiurkan!
"Karena tawarannya Rp 100.000 untuk 200 Mbps sebulan, ada pemasangan internet gratis, kenapa kita enggak terima?" begitu tutur Pak Bagus dengan nada pragmatis.Â
Coba deh bayangin, di tengah kebutuhan internet yang makin mendesak buat sekolah online, kerja dari rumah, atau sekadar hiburan, tawaran Rp 100 ribu untuk kecepatan 200 Mbps itu memang bak durian runtuh. Apalagi ada embel-embel pemasangan gratis. Siapa yang nggak tertarik? Bagi Pak Bagus, ini adalah kesempatan emas untuk membantu warganya yang mungkin kesulitan mengakses internet dengan harga terjangkau.
Bapak RW juga menambahkan bahwa biaya internet murah ini bisa banget membantu warganya.Â
"Menurut Bagus, biaya internet itu murah dan bisa membantu warganya yang memang membutuhkan," begitu data menyebutkan. Kita tahu betul betapa pentingnya internet sekarang ini, bukan cuma buat main game, tapi buat akses informasi, pendidikan, bahkan urusan kesehatan. Jadi, niat Pak RW ini sebenarnya mulia, ingin melihat warganya 'melek' digital tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam.
Uang Kompensasi Rp 6 Juta, Untuk Siapa dan Dipakai Apa?
Selain tawaran internet murah, ada juga kompensasi berupa uang tunai sebesar Rp 6 juta dari pihak provider. Nah, ini dia salah satu titik sensitifnya. Pak Bagus mengaku uang tersebut digunakan untuk mendukung kegiatan RW.Â
"Pertama, kan di RW ada yang aktif piket, itu yang piket saya berikan baju, sama pengurus RW, dan sisanya untuk mendukung operasional RW," jelas Pak Bagus.
Logikanya, kegiatan operasional RW memang butuh dana, entah untuk rapat, kegiatan sosial, kebersihan, atau sekadar biaya administrasi. Memberi insentif berupa baju untuk pengurus yang aktif piket juga bisa dibilang sebagai bentuk apresiasi. Jadi, dari sudut pandang Pak RW, penggunaan dana ini transparan dan jelas peruntukannya demi kepentingan bersama di lingkungan RW.
Tuduhan Pencemaran Nama Baik
Masalah mulai memanas ketika Bapak Bagus dituding mencemarkan nama baik Bapak Sujarwo, sang Ketua RT 01. Pak Bagus sendiri membantah keras tudingan ini. Ia bersikukuh bahwa dirinya tak pernah mengatakan bahwa Pak Sujarwo ikut menerima uang Rp 6 juta dari pihak provider.
"Kalau saya, saya orang enggak punya, saya ikuti saja, biar alam yang bekerja, alam lebih baik," ucap Pak Bagus dengan pasrah.Â
Kalimat ini menunjukkan bahwa ia siap menghadapi proses hukum, walau di satu sisi ia merasa tidak bersalah dan menyerahkan semuanya pada takdir. Pernyataan ini mungkin sedikit 'njawani' atau filosofis, khas orang Indonesia yang sering mengandalkan kekuatan alam atau takdir dalam menghadapi masalah.
Ketika Pak RT Merasa Terfitnah
Di sisi lain, Bapak Sujarwo, Ketua RT 01, merasa namanya dicemarkan. Ia tidak terima dituding ikut menerima uang Rp 6 juta dari perizinan pemasangan tiang internet tersebut. Bayangkan, tiba-tiba Anda dituduh menerima uang yang tidak pernah Anda pegang. Tentu saja itu bisa bikin panas hati dan merasa harga diri diinjak-injak. Apalagi, tuduhan itu datang dari orang terdekat di struktur pemerintahan lingkungan.
"Dia mengaku 'saya tidak salah, dan tidak melakukan fitnah' lah, gimana saya kan ditanyain sama tokoh dikira ikut menerima uang itu, padahal enggak," ungkap Sujarwo, menunjukkan kekecewaannya.Â
Perasaan dituduh dan dipercaya telah menerima uang gelap, padahal tidak, tentu sangat menyakitkan. Apalagi tuduhan itu sampai membuat ia 'ditanyain sama tokoh', yang artinya isu ini sudah menyebar luas di masyarakat. Hal ini bisa merusak reputasi dan kepercayaan warga terhadapnya sebagai Ketua RT.
Selain isu uang, Pak Sujarwo juga sempat menolak pemasangan tiang internet ini, salah satunya karena khawatir membahayakan warga. Kekhawatiran ini tentu beralasan. Tiang yang dipasang sembarangan atau tanpa prosedur yang jelas bisa menimbulkan risiko kecelakaan, gangguan estetika, atau bahkan masalah teknis lainnya di kemudian hari. Ini menunjukkan bahwa pertimbangan Pak RT bukan hanya soal uang, tapi juga keamanan dan ketertiban lingkungan.
Mediasi Gagal, Hukum Berjalan
Karena tidak menemukan titik temu, akhirnya Pak Sujarwo memutuskan untuk membawa masalah ini ke jalur hukum. Keduanya sudah sempat dimediasi oleh pihak kepolisian, namun hasilnya nihil. Mediasi, yang seharusnya bisa jadi jembatan perdamaian, rupanya tidak berhasil meluluhkan kekakuan hati kedua belah pihak.
Yang menarik, menurut Sujarwo, dalam mediasi itu Pak Bagus disebut mengelak dan mengaku tidak tahu menahu sudah menerima uang Rp 6 juta tersebut di rekeningnya. Ini seperti menambah bumbu drama dalam perseteruan ini. Jika memang benar ada uang masuk ke rekening tanpa sepengetahuan penerima, itu juga bisa jadi pertanyaan besar.
Saat ini, Pak Sujarwo masih menunggu surat delik aduan yang diajukannya ke polisi. Surat ini akan menentukan apakah perbuatan Pak Bagus termasuk unsur pidana atau tidak. Jika terbukti ada pelanggaran pidana, maka laporan akan dilanjutkan. Artinya, ini bukan lagi sekadar urusan warga, tapi sudah masuk ranah hukum yang serius.
Komunikasi Itu Kunci!
Kasus tiang internet di Warakas ini mengajarkan banyak hal. Pertama, niat baik saja tidak cukup. Dalam mengelola lingkungan masyarakat, transparansi dan komunikasi yang jelas antar pimpinan, apalagi menyangkut fasilitas publik dan uang, adalah harga mati. Mungkin niat Pak RW baik, ingin warga punya internet murah, tapi proses perizinan dan pengelolaan dananya haruslah diketahui dan disepakati bersama, terutama oleh Ketua RT dan warga.
Kedua, pentingnya menghargai reputasi dan nama baik seseorang. Tuduhan tanpa bukti yang jelas bisa berakibat fatal, merusak hubungan personal, bahkan menyeret ke ranah hukum. Pak RW mungkin tidak bermaksud mencemarkan nama baik, tapi perkataan yang ambigu atau tidak jelas bisa disalahartikan dan menimbulkan dendam.
Ketiga, setiap kebijakan di lingkungan RT/RW haruslah melalui prosedur yang jelas dan melibatkan semua pihak. Bukan hanya sekadar "setuju karena murah", tapi juga mempertimbangkan aspek keamanan, dampak lingkungan, dan kesepakatan bersama.
Kini, kita hanya bisa menunggu bagaimana kelanjutan drama tiang internet ini. Apakah "alam akan bekerja" seperti kata Pak RW? Atau hukum yang akan membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah? Yang jelas, kasus ini menjadi cerminan bahwa mengurus masyarakat, walau di lingkup kecil seperti RT/RW, itu tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak kepala, banyak kepentingan, dan banyak hati yang harus dijaga. Semoga saja, ada jalan terbaik bagi kedua belah pihak dan warga Warakas.
Nah, itu dia cerita lengkapnya dari Warakas. Bikin kita mikir, kan? Jangan lupa sampaikan pendapatmu di kolom komentar!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI